Di suatu sore, istri saya meminta saya menyemprot cairan yang menurut keterangan dia adalah pestisida nabati. "Ini kulit bawang yang kemarin?" tanya saya. "Iya," jawabnya singkat. Ternyata isinya adalah rendaman kulit bawang merah dan bawang putih dalam air. Sepertinya sudah ada tiga hari terendam. Lekas saya semprotkan ke pohon cabe, tomat, dan tanaman-tanaman lain di pekarangan saya.
Jika ditelusur di internet, seperti Instagram dan Youtube, memang beberapa sumber mengatakan bahwa bawang-bawangan bisa digunakan sebagai pestisida alami. Siung bawang putih sering dianjurkan sebagai bahan bakunya. Kalau istri saya memilih memanfaatkan kupasan kulit bawang merah dan bawang putih untuk membuat pestisida versinya. Caranya sangat sederhana, hanya direndam di air selama beberapa hari.
Dalam bidang ilmu kimia yang saya geluti, proses perendaman bahan alam ini biasanya disebut sebagai maserasi. Tujuannya adalah untuk menyari (mengambil sari) atau mengekstrak bahan kimia yang terkandung dalam bahan alam tersebut. Hanya saja, bahan kimia yang terambil sangat bergantung dari cairan yang kita pakai untuk menyari. Jika kita menggunakan air, tentu saja yang terambil kebanyakan adalah senyawa yang larut air. JIka menggunakan etanol, kita bisa mengambil senyawa yang lebih non-polar. Jika menggunakan diklorometana, tentu saja yang banyak terambil adalah senyawa non-polar. Teknisnya kurang lebih demikian.
Sejujurnya, saya sulit menemukan hasil penelitian tentang pengaruh ekstrak entah kulit entah siung bawang terhadap respon hewan tertentu. Bisa jadi serangga, bisa jadi siput, atau apapun itu. Jika pembaca menemukan artikel ilmiah yang dapat menolong saya mempelajari ini, bolehlah berbagi.
Namun, menurut istri saya, secara empiris memang lebih sedikit serangga-serangga yang berkerumun di tanaman cabe kami. Bagaimana ini dijelaskan? Saya akan coba menjelaskan berdasarkan naskah ilmiah berjudul "Plant Responses to Herbivory, Wounding, and Infection" yang diterbitkan pada jurnal International Journal of Molecular Science tahun 2022 edisi 23(13) yang ditulis oleh Mostafa dkk.
Secara sederhana, tanaman memang memiliki sistem pertahanan diri terhadap serangan makhluk hidup. Setidaknya ada dua cara bagi tanaman untuk melindungi diri yakni secara fisik dan kimiawi. Perlindungan secara fisik terwujud dalam duri, atau kulit, atau rambut halus, dan sebagainya. Tanaman juga dapat melindungi diri secara kimiawi dengan menghasilkan senyawa-senyawa tertentu untuk menghadapi masalah tertentu.
Sebagai contoh, tanaman dapat menghasilkan senyawa yang rasanya pahit yang sering disebut sebagai alkaloid, untuk mencegah herbivora mengunyah atau memakan daun tanaman tersebut. Lucunya, manusia terkadang doyan dengan alkaloid ini. Sebutlah kafein dalam kopi dan nikotin dalam tembakau. Ada juga yang senang dengan makanan pahit seperti pare atau daun pepaya. Padahal pahit-pahitan itu adalah bentuk pertahanan tumbuhan agar tidak dimakan. Ada juga yang senang dengan alkaloid tumbuhan tertentu yang tidak akan saya sebutkan di sini supaya saya tidak dijerat hukum.
Tanaman juga dapat melepaskan senyawa volatil untuk memberikan peringatan bahkan menyerang makhluk hidup tertentu. Bahkan tanaman itu bisa memberikan peringatan satu sama lain dengan melepas senyawa volatil ini ke udara. Ternyata tanaman pun bisa berkomunikasi walau tanpa kata, tetapi dengan kimia. Senyawa volatil ini bisa bersifat racun bagi makhluk hidup lain. Inilah yang menjadi kunci mengapa ekstrak tanaman bisa menjadi suatu pestisida atau pengendali hama. Masalahnya, ilmuan harus memeriksa satu per satu, senyawa apa untuk menghalau hewan yang mana. Tentu saja butuh waktu dan usaha yang besar untuk menemukan ini.
Senyawa apa dalam kulit bawang yang dapat mengusir serangga? Saya tidak menemukan jawabannya. Tetapi bolehlah kita bermimpi demikian: bayangkan ilmuan-ilmuan kita menyusun suatu kompendium yang berisikan manfaat dari aneka ekstrak bahan alam. Bayangkan pengetahuan itu dibaca oleh petani-petani kita. Saya rasa petani kita bisa lebih sejahtera. Mengapa? Sebab tidak perlu lagi membeli pestisida sintetik. Tinggal membaca saja di kompendium itu, dia menghadapi masalah apa dan tanaman apa yang dibutuhkan untuk menghadapinya. Tentu saja menjadi lebih irit daripada membeli pestisida. Untunglah banyak pengguna Instagram dan Youtube yang rajin dan setia membagikan pengetahuan ini.
Apakah industri pestisida akan senang dengan ini? Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H