Bukan hanya suami istri bahkan sepasang kekasihpun jika dalam kondisi sedang mengalami kesedihan, tertekan, berbeda pendapat dalam menyelesaikan suatu permasalahan, maka akan timbul keinginan untuk berbagi dengan siapapun, tidak terlepas apapun jenis kelamin lawan bicara yang diajaknya berbagi.
Sebagai seorang sahabat dekat maupun yang direkomendasikan untuknya dari pihak lain, seseorang yang lawan jenis sekalipun dapat melakukan keterampilan-keterampilan dasar konseling (basic counseling skills). Yaitu dengan melakukan sejumlah keterampilan mendengarkan dan berkomunikasi dalam membantu seseorang yang sedang mengalami depresi atau situasi emosional lainnya. Salah satu cara yang paling baik untuk membantu orang lain yang sedang bermasalah adalah dengan mendengarkan dan berkomunikasi dengan mereka secara efektif.
Dalam teori dan praktisnya, membantu orang lain mengatasi persoalan-persoalan sehari-hari, bahkan persoalan ‘ranjang’ sekalipun, bukanlah aktivitas yang hanya dilakukan oleh para konselor professional yang sangat piawai. Sebaliknya, aktivitas ini senantiasa dilakoni oleh kebanyakan orang ketika situasi menuntutnya. Aktivitas ini berlangsung secara alamiah, dan kita semua belajar melakukannya sejak kanak-kanak.
Bahkan sesuai Asosiasi Konselor dan Ahli Psikoterapi Inggris, adapun saat-saat seseorang melakukan konseling ataupun sekadar curhat ‘intim’, seorang yang memberikan konseling juga diminta tidak melakukan kontak fisik maupun emosional yang berlebihan dengan ‘pasien’ selama proses pembicaraan masalahnya ataupun sesudahnya.
Demikian juga, konselor dilarang menjalin hubungan dengan pasien karena alasan-alasan pribadi. Seorang konselor mengesampingkan kepentingan kepentingannya sendiri selama sesi konseling. Seorang konselor benar-benar mendengarkan dan memfokuskan diri pada masalah-masalah klien, dan tidak boleh membicarakan masalah dirinya sendiri. Ini jelas sangat berbeda dengan percakapan biasa antara sesama teman dan sesama rekan kerja.
Dalam kasus ini, antara konselor dengan pasien yang berbeda jenis kelamin ini, walaupun hubungan lanjutan terjadi di antara mereka, terlalu berlebihanlah dan dini jika menyimpulkan bahwa keduanya sedang melakukan perselingkuhan tanpa suatu ‘niatan’ yang dibuktikan. Misal, seorang suami melakukan curahan hati atau konseling kepada seorang perempuan yang bukan pasangannya ataupun yang memiliki keterkaitan hubungan darah dengannya, ketika pulang malam usai melakukan konseling atau curahan hati dengan konselor yang berbeda jenis kelaminnya itu, si istri bertanya kepada si suami, lalu si suami menjawabnya dengan sebuah kebohongan, misalnya lembur di kantor dan sebagainya. Alhasil, itulah awal gejala perselingkuhan. Maka diperlukan keterbukaan terhadap pasangan sah jika telah melakukan konseling atau curahan hati kepada orang lain, sekalipun itu sesama jenis atau lawan jenisnya.
Tujuan konseling atau curahan hati biasanya ditujukan untuk membantu dirinya (klien) menyelesaikan problem yang mengganggu mereka. Juga dimaksudkan untuk membantunya mengembangkan beragam cara yang lebih positif untuk menyikapi hidup yang sedang bersanding dengan permasalahan yang sedang ia hadapi.
Ketika kita hendak menerapkan keterampilan konseling, yang bersangkutan perlu menyadari bahwa kita berniat menjalin komunikasi yang berbeda dengan komunikasi umumnya. Jadi tetaplah tidak salah untuk mencurahkan hati dan persoalan dengan lawan jenis. Jikapun di antara keduanya menjadikan dekat secara emosional, haruslah di luar pembicaraan curahan hati itu.
Sangat dimungkinkan mencurahkan hati dan pengalamannya kepada siapaun tak terbatas sesama jenis dan hubungan darah malah mendapat seterang-terangnya solusi atas permasalahannya, wallahu a'lam bishawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H