Lihat ke Halaman Asli

Mateus Hubertus Bheri

Menulis Itu Seni

Meneropong Kepiawaian Caleg Pemula dalam Kontestasi Pileg

Diperbarui: 12 April 2024   19:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Kompas)

Memang tidak mudah menjadi seorang calon legislatif, apalagi calon pemula yang nota bene rekam jejaknya belum dikenal publik. Belum ada hal baik yang diperbuat oleh Caleg pemula untuk kepentingan orang banyak (budi baik) yang dapat menarik simpatik pemilih untuk mendukung calon tersebut. Rasa-rasanya tidak mudah memang.

Menarik simpatik publik bukanlah perkara mudah bagi seorang caleg pemula. Kerja-kerja politik serta dibarengi strategi jitu untuk meraih dukungan mayoritas pemilih sangat dibutuhkan. Ketika  dalam situasi kegalauan politik, seorang politisi pemula haruslah optimis bahwa sikap yang diambil untuk terjun dalam dunia politik sekaligus Caleg sudahlah tepat.

Optimis itulah yang akan menghantarkan seorang politisi untuk berani berkompetisi dalam arena kontestasi pemilihan legislatif. Karena dengan optimisme yang tinggi akan membangkitkan sebuah keyakinan dan percaya diri dalam diri seorang politisi.

Ketika rasa percaya diri dalam diri seorang politisi sudah terbentuk, sikap politik itu akan sendirinya terbentuk pula dalam diri seorang politisi. Tanpa sikap politik, seorang politisi akan berada dalam dua alam, yang pertama alam nyata dan kedua alam semu (dunia angan-angan).

Bayangkan saja, kalau hal itu dialami oleh seorang politisi, di satu sisi dirinya siap untuk berkompetisi (alam nyata),  di sisi lain akibat dorongan diluar alam bawah sadarnya mengakibatkan rasa percaya diri itu hilang, rasa pesimis akan muncul dan menghantui dirinya sehingga caleg baginya hanyalah angan-angan yang sulit terwujud dan tidak mudah untuk dilalui.

Seorang caleg pemula harus menyadari bahwa berpolitik sejatinya bukan saja untuk  mendapatkan kekuasaan. Kalau seorang politisi terobsesi dengan kekuasaan, niscaya nilai positif dari kata politik itu sendiri akan direduksi menjadi kotor, menjijikan, dan akan dinajiskan oleh manusia sebagai mahkluk politik. Apalagi si politisi itu menggunakan rumus 4+1=5, yang artinya berkuasa selama 5 tahun, 4 tahun menghilang, 1 tahun baru datang.

Kata politik harus dilihat secara komprehensif agar tidak terjebak dalam diskursus politik yang sempit. Preseden buruk tentang politik, membuat gairah publik untuk berbicara tentang politik nyaris hilang. Jangan heran yang setiap kali kontestasi Pileg, yang muncul cuman wajah-wajah lama yang selalu hadir dalam pesta demokrasi rakyat lima tahunan itu. 

Presiden kedua RI,  B. J Habibie pernah mengatakan "politik bukanlah mencari kekuasaan, namum memastikan kesejahteraan bagi semua rakyat. Politik harus dimaknai sebagai alat perjuangan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah memberikan mandat kepada seorang legislator.

Dengan kekuasaan di tangan, legislator itu harus betul-betul menjadi anjing penggonggong dalam ruang sidang DPR. Ia harus berbicara sekeras-kerasnya dalam ruang sidang demi kepentingan se pemberi mandat, yaitu rakyat itu sendiri. Bukan malah sebaliknya, berbicara untuk koleganya, apalagi keluarga sendiri. 

Penggunaan kekuasaan yang salah oleh seorang legislator itulah yang berdampak munculnya stigma negatif tentang politik. Jangan heran,  mendengarkan kata politik pun seperti barang haram, apalagi memperbincangkan di ruang-ruang publik. Rakyat menjadi alergi terhadap politik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline