Sejatinya Pemilu, tak hanya sekedar memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, dan DPD melainkan dalam pemilu bagaimana kita menjaga hak rakyat (amanat konstitusi) dapat tersalurkan dengan baik, mulai didaftarkan sebagai pemilih hingga pada penghitungan suara.
Makanya tak heran, dari setiap pemilu ke pemilu sistem dan tata aturan pemilu selalu berubah-ubah agar melahirkan pemilu yang berintegritas.
Dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, defenisi dari Pemilu sendiri adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden.,
Untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan kata lain, Pemilu merupakan pesta demokrasi rakyat yang selalu dilaksanakan setiap lima tahun untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat.
Dalam hal ini, rakyat menjadi tuan di atas negerinya sendiri. Coba bayangkan, bagaimana pengaruhnya rakyat sehingga Presiden dan DPR pun di pilih olehnya.
Kendati demikian, kebanyakan pemimpin dan wakil rakyat di republik ini tak mempunyai "asas tahu diri". Ketika kepercayaan besar diberikan oleh rakyat, malahan mereka menggunakan jabatan dan kekuasaan itu untuk memperkaya diri sendiri, keluarga dan kolega dengan melakukan praktek korupsi.
Perlu di sadari bersama, Pemilu baru dikatakan berkualitas apabila hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, betul-betul tersalurkan di bilik suara.
Lalu yang menjadi pertanyaannya, bagaimana kita dapat memastikan secara jelas bahwa suara rakyat sebagai manifestasi dari demokrasi tidak dikebiri?
Adam Pzeworski (1988) dalam tulisannya membagi dua alasan mengapa Pemilu menjadi variabel sangat penting dalam suatu negara demokrasi. Pertama menurut Adam, Pemilu merupakan suatu mekanisme transfer kekuasaan politik secara damai.