Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Guntur sampai di kantornya tepat pukul delapan pagi. Dan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, ritual menyeduh kopi moka arabika favoritnya tidak pernah ia tinggalkan. Satu sendok kopi, dua sendok gula dan satu sendok krim agar kopinya tidak pekat adalah takaran favoritnya.
Meminum kopi sebelum mulai bekerja biasanya selalu berhasil membuatnya terjaga dan semangat untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya di kantor. Namun hari ini tampaknya hal itu tidak akan berhasil. Suasana hatinya berantakan entah kenapa. Ia seperti sulit menemukan penyebab dari gundahnya hari itu. Guntur merasa..
.. Hampa.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Jam menunjukkan pukul 12 siang waktunya untuk istirahat makan. Dito, rekan kerjanya mengetuk pintu ruangannya dan mengajaknya makan siang. Guntur pun bersiap makan dengan Dito. Tapi tak lama telepon genggam Guntur berbunyi. Guntur melihat siapa yang menelponnya.
“BAPAK
calling..”
Guntur sedikit kaget melihat kontak yang muncul di layar telepon genggamnya. Bapaknya yang telah kehilangan kontak dengan dirinya untuk beberapa saat, kini secara tiba-tiba menghubunginya. Guntur lalu meminta Dito untuk pergi makan lebih dulu karena ia ingin mengangkat telepon dari salah satu sosok yang masih dianggapnya cukup penting dalam hidupnya.
“Halo?” tanya Guntur.
“Assalamualaikum Guntur,” salam si bapak seperti yang biasa ia ucapkan ke anak pertamanya setiap menelpon.
“Waalaikumsalam.. Pak.”
“Apa kabar nak?”
“Baik pak.”