(aku lanjutkan Senin pagi ini) Aku selalu luluh melihat anak-anak. Siapa pun mereka. Termasuk anak-anak di Cakung Sawah ini. Cakung Children Community, begitulah kerennya mereka disebut. Komunitas Anak-anak Cakung. Belasan atau mungkin puluhan tahun lampau orang tua mereka sudah tinggal di sini. Wilayah yang tidak jelas siapa tuannya. Kurang lebih dua hektar luasnya. Petak-petak tempat tinggal itu hanyalah gubuk semata. Gubuk dalam artian yang sebenarnya. Jemuran yang bersilangan. Popok dan baju tak terpakai diletakkan begitu saja di sudut rumah, bercampur lumpur dan air sisa hujan. Kumpulan sampah plastik di samping rumah, ditutup selembar terpal. Tiga puluh kepala keluarga berkumpul di sini. Paling banyak dari Indramayu, Jawa Barat. Jangan tanya berapa ratus jiwa semuanya. Masing-masing keluarga dengan anak yang cukup banyak, paling sedikit dua, bahkan ada memiliki enam anak. Semuanya tinggal dalam gubuk-gubuk yang sangat kecil. ”Tidak bisa dihitung berapa ratus jiwa di sini. Anaknya banyak,” ujar Yunita, ibu yang menyediakan tempat untuk sanggar belajar. Aku tidak bisa bayangkan, lima enam orang bertumpuk dalam gubuk ukuran empat kali enam. ”Yang tua ya tidur di lantai, yang di kasur hanya anak-anak,” ujar Erni, sambil menyusui Fajar anaknya yang baru berumur setahun. *** ”Yuk ke sawah. Lihat tanaman mereka,” ajak Rika. Ajakan yang memaksaku melihat daerah ini tidak hanya dari petak-petak kumuh itu saja. Kami berjalan ke belakang. Ada hamparan tanah yang baru saja di olah. ”Untuk ditanami kangkung,” ujar Nenek Harjati, neneknya Intan, salah satu pelajar di situ. Berjalan ke belakang, aku melihat sebidang tanaman kangkung, terong yang mulai menguning. Pada bidang yang lain ada tanaman kacang tanah dan genjer. Di tanah tanpa tuan yang jelas inilah mereka menjadi petani. Petani kota tepatnya. Cakung Sawah sebetulnya hanya satu dua jam dari pusat kota Jakarta, tergantung kemacetannya. Di belakang pabrik-pabrik industri besar. Tidak jelas dari mana air untuk sawah didapat. Tetapi tanaman itu selalu tumbuh. Kangkung bisa dipanen tiap hari. Begitu juga genjer. Panen terong sudah bukan masanya lagi ketika aku datang. ”Lumayan sehari bisa satu dua gabung kangkung. Paling banter laku Rp 10.000,” ujar Kakek Carya, lelaki tua yang aku temui di depan rumahnya. Satu gabung terdiri dari 25 ikat kangkung. Sayuran itu dijual ke pasar-pasar kecil yang ada di seputar pemukiman penduduk, di luar Cakung Sawah. Tak semua menjadi petani. Lainnya memunguti botol dan barang bekas. Ada satu keluarga yang jadi pengepul barang bekas di tempat itu. Pekerjaan lainnya aku belum tahu banyak. Langkah penasaranku membawa aku ke samping tanah pertanian itu. Dua empang ukuran tiga meter kali satu setengah meter. Ditumbuhi kangkung dan tanaman lain menutupi gelapnya air yang ada. Jamban alakadarnya ditutup dengan triplek tipis ada di sudut lainnya. Puluhan lele hidup di dalam air gelap bersulur tanaman. ”Lelenya juga dijual?” tanyaku penasaran. ”Tidak diapa-apain. Biar makan kotoran saja,” ujar seorang warga. ”Ooooohhhhh.......” ujarku, sedikit lega. Tidak kepikiran bagaimana kalau lele-lele itu juga dijual. Untung saja tidak. *** Sapu tanganku sudah kotor oleh keringat bercampuran bedakku. Tanganku pun sudah pegal memegang kamera. Rasa lieur yang muncul di awal ketika masuk ke pemukiman ini berganti dengan rasa lain. Aku tidak tahu bagaimana menerjemahkannya. Aku namai saja ”rasa yang lain.” Kembali ke tempat belajar anak-anak. ”Rasa yang lain” tadi makin bergerak tak karuan dalam diriku. Melihat mereka memotong kardus bekas untuk dijadikan pigura foto. Menghiasinya dengan gabus jala merah pembungkus apel Washington yang dibawa Ikka tadi. Lainnya menempel pinggir pigura dengan beras, biji-bijian atau mewarnainya. Mereka serius. Kadang tertawa. Tapi tidak berebut. Mataku menyapu majalah dinding, hasil karya mereka. Berbagai penggalan pengalaman ditulis dalam bahasa kanak-kanak. Dan aku terngiang dengan tulisan yang aku ditemukan: ”Rumahku sederhana, tidak besar dan juga tidak kecil. Di depan rumahku ada bunga-bunga. Rumahku bersih karena aku selalu membersihkannya, baik menyapu atau pun mengepelnya. Aku sungguh senang tinggal di rumahku. Ketika aku berada di dalamnya, aku merasa nyaman, aman, dan tenang.” Ah kanak-kanak. Semua selalu indah dalam benak kamu, meski hidup dalam kekumuhan. Aku jadi malu. Hari ini aku belajar tentang kehidupan dari Cakung Sawah. Harta dan benda bisa jadi tak mereka punya. Tetapi mereka tidak sedang kehilangan keyakinan. Juga aku. Keyakinanku sedang justru bertumbuh. Keyakinan tentang masa depan mereka. Sumber : http://matasasan.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H