Lihat ke Halaman Asli

No Wamen No Cry? Yes Wamen dong!

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahukah Anda, jika pada masa kabinet presidensial yang pertama, beberapa menterinya memiliki wakil menteri (wamen)?

Di antaranya Menteri Dalam Negeri Wiratakusuma mempunyai Wakil Menteri yaitu Mr Harmani, Menteri Keamanan Rakyat Suprijadi diwakili oleh Sulyadikusumo, dan Menteri Penerangan Mr Amir Syarifudin berwakilmenterikan Mr Ali Sastroamodjojo.

Maka ketika kabar perihal wakil menteri ini digugat oleh kelompok yang menamakan mereka Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) dengan kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra dengan alasan inskonstitusional, maka saya pikir apakah Pak Yusril yang bergelar professor ini tak sedang mempertaruhkan kredibiltasnya?

Setelah melalui mekanisme berbulan-bulan, maka uji materi terhadap pasal 10 UU 39/2008 yang mengatur wakil menteri ini, maka MK mengeluarkan putusan bahwa penjelasan pasal tersebut tentang Kementerian Negara tidak berlaku mengikat. Lebih jelasnya lagi bahwa penjelasan pasal 10 yaitu yang dimaksud dengan "Wakil Menteri" adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet itu tidak berlaku.

Pada intinya, posisi wakil menteri merupakan posisi yang tidak menyalahi konstitusi, namun untuk wamen yang ada sekarang merupakan status quo karena proses pengangkatannya yang inskontitusional sehingga presiden perlu merevisi Keppres. Juga karena wamen bukan merupakan jabatan karier, sehingga Presiden perlu membuat Keppres baru perihal wamen ini.

Mengutip pernyataan Denny Indrayana yakni penggugat berpendapat bahwa norma atas wakil menteri ini bertentangan dengan UUD 1945 dan dalam permohonannya disampaikan tiga argumen, yaitu:

a. Posisi wamen tidak pernah diatur dalam UUD 1945,

b. Posisi wamen memboroskan anggaran negara,

c. Posisi wamen berpotensi menimbulkan konflik dengan menteri.

Denny yang berada di posisi sebagai wamenkumham tidak sependapat dengan ketiga argumen yang dikemukakan tersebut. Sebab pemahaman mengenai wamen ini tidak sesempit dan sesederhana itu. Tidak diaturnya suatu posisi dalam UUD 1945 tidak otomatis berarti posisi tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Jika hanya demikian kriteria konstitusionalitas wamen, maka akan ada banyak posisi yang harus diatur di dalam UUD 1945 dan akan ada banyak posisi yang tidak diatur sehingga bertentangan dengan UUD 1945, seperti Kejaksaan Agung dan KPK. Juga masih banyak institusi atau posisi lain yang tidak diatur dalam UUD 1945 tetapi semuanya tetap sesuai dan tidak lantas bertentangan dengan UUD 1945.

Adapun soal mengenai pemborosan anggaran dan potensi konflik, kedua hal tersebut merupakan asumsi yang tidak terkait dengan isu konstitusionalitas. Pada dasarnya, semua posisi tentu terkait dengan anggaran tp bukan berarti dengan adanya anggaran menjadi penyebab suatu posisi otomatis bertentangan dengan UUD 1945. Juga setiap posisi tentu memiliki potensi konflik, tapi adanya potensi konflik juga bukan berarti suatu posisi otomatis bertentangan dengan konstitusi. Maka, tidak berarti jika setiap jabatan yang membawa konsekuensi anggaran dan adanya potensi konflik dapat langsung divonis bertentangan dengan UUD 1945.

Tidak ada satu pun jabatan yang konstitusional. Karena, setiap posisi atau jabatan pasti membutuhkan anggaran dan pasti berpotensi konflik. Namun persoalan bagaimana anggaran itu lebih efisien dan tidak timbul konflik adalah merupakan wilayah implementasi, yang bukan merupakan persoalan norma konstitusi. Apalagi, dalam sejarah Indonesia, wamen juga pernah eksis tanpa pernah dipersoalkan konstitusionalitasnya. Demikian juga di banyak negara di dunia yang mempraktikkan eksistensi wamen tanpa ada persoalan konstitusionalitas sedikit pun.

Jadi, saya pikir tentu presiden membuat keputusan adanya wamen berdasarkan pertimbangan yang sangat matang apalagi dan bukan dengan alasan bagi-bagi kekuasaan politik. Sebab dari ke-20 wamen tersebut, apakah ada dari kalangan partai politik?! Tidak ada sama sekali. Mengurusi negara dengan penduduk 250an juta jiwa ini tentu bukan perkara yang mudah. Belum lagi menteri yang tak dapat menjalankan fungsinya dengan cukup baik, maka diperlukan back up untuk menyelesaikan tugas-tugas negara demi kesejahteraan rakyat semaksimal mungkin. Seperti saat sakit dan meninggalnya Menkes, jika tidak ada wamen maka apakah presiden harus turun tangan langsung? Tentu saja tidak, karena presiden pun tidak hanya mengurusi kondisi dalam negeri, tapi hubungan dengan negara lain pun penting dilakukan.

Follow:  @Bluezevas




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline