[caption caption="Penyandang Disabilitas Bergeraak Untuk Setara -- foto: okezone.com"][/caption]
MENDENGAR kata ‘ruang publik’ otak saya langsung mencerna itu dan memunculkan gambaran ruang hijau terbuka yang bisa dinikmati banyak manusia, nyaman, aman dan ramah lingkungan. Tak hanya itu, saya juga membayangkan, saudara-saudara kita penyandang disabilitas, punya akses yang setara dengan mereka yang dianggap “normal”. Sayangnya, masih banyak yang menganggap, kelompok “minoritas” ini sebagai bagian yang merepotkan saja. Alhasil, kalau ruang publik masih ‘gahar’ buat mereka, perlu cuci otak yag lebih keras untuk membuka mata dan pikiran.
DALAM kacamata saya, ada dua hal yang bisa diperjuangkan dan jadi catatan penting ketika kita bicara soal ruang publik. Pertama, ruang publik hijau. Kenapa harus dengan embel-embel hijau? Ini tidak ada hubungannya dengan warna partai atau golongan ya. Saya selalu tertarik dengan eco-polis, atau ruang hijau yang berkelanjutan.
Sebenarnya, memasuki abad baru, masyarakat perkotaan justru makin mencita-citakan back to nature. Mereka menginginkan hidup yang akrab lingkungan dan berkekotaan (urbanized). Banyak hal modern yang dilakukan untuk mendapatkan hidup yang ‘berwawasan lingkungan’ ini. Jelas bukan hal mudah untuk mencapai cita-cita ini, sebab banyak masalah aktual dan kontekstual yang menghadang. Pembangunan yang sembarangan menghabiskan lahan dan pemandangan alam yang diperlukan bagai lahan hijau dan tempat rekreasi. Benar memang, sekali daerah dibangun dengan prioritas pembangunan fisik, sangat sulit dan mahal untuk menciptakan kembali alam yang terbuka dan bersih.
Belum lagi persoalan limbah pencemaran udara yang luarbiasa di. Dari beberapa data yang pernah dilansir oleh pemerintah atau LSM, 70 persen pencemaran udara di kota besar, termasuk berasal dari emisi gas buang otomotif. Di Jakarta misalnya, tingkat pencemaran sudah pada tahap yang mengkhawatirkan. Meski berbagai kebijakan sudah diambil, tapi tetap saja polusi menjadi momok ‘pembunuh misterius’ yang tetap bergentayangan. Dengan kondisi itu, Jakarta jelas sangat membutuhkan lingkungan hijau. Sayangnya, dari awal perencanaan lahan hijaunya sudah amburadul. Tampaknya bisnis akhirnya mengalahkan lahan hijau yang terbeli.
Beruntungnya kebijakan sekarang mulai berpihak kepada ruang publik yang hijau. Banyak lahan tidur, atau tempat-tempat yang peruntukannya untuk lahan hijau, dikembalikan kepada fung semula dan dibangun taman-taman sebagai ruang pubilk dan interaksi antar manusia yang ramah. Dalam The Habitat Agenda and An Urbanizing World (1996, UHNCS), sudah dituliskan tentang konsep kota eco-polis. Hal ini dihasilkan dalam konperensi tentang lingkungan hidup di Brazil, Masyarakat dunia makin sadar, mereka butuh suatu ruang yang mendukung penghijuan di perkotaan. Dalam agenda tersebut dijelaskan, kota lingkungan harus menjamin tiga dasar keberlanjutan, lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Seorang pakar lingkungan Inggris, William Reesse mengingatkan, untuk menopang keberlangsungan kota, diperlukan 10-10 kali daerah pendukung di sekitarnya. Untuk menuju kota eco-polis, ada beberapa pertimbangan lain yang perlu diperhatikan yakni landasan pemerataan, etika, dan keadilan. Peradaban manusia yang ada sering membahayakan sistim kehidupan manusia itu sendiri karena cara memakai sumberdaya alam yang tidak bertanggungjawab dan kerap meracuni alam melalui limbah yang dibuang seenaknya.
Kedua, ramah disabilitas. Mengapa ini saya tonjolkan, karena sampai saat ini banyak banyak pelaku kebijakan bernegara, menempatkan penyandang disabilitas ini hanya sekadar obyek kebijakan semata. Hal itu pula yang kemudian tak memberikan “keramahan” kepada kawan-kawna penyandang disabilitas ketika kita bicara ruang publik. dalam konteks ini, maka negara berkewajiban menyediakan pelayanan publik yang dapat dinikmati dan benar-benar berangkat dari kebutuhan masyarakatnya. Untuk itu aksesibilitas fasilitas publik menjadi sangat penting, terutama bagi penyandang disabilitas, karena tanpa aksesibilitas tersebut, mereka akan mengalami kesulitan dalam melakukan mobilitas.
Banyak tempat dan fasilitas publik yang tidak bisa dinikmati oleh kelompok minoritas, termasuk kaum difabel.
Mereka adalah kelompok yang karena peran pemerintah yang kurang, seringkali menjadi gelandangan, pengemis di terminal-terminal, kereta dan perempatan jalan. Mereka sering dicemooh, dan diasosiasikan tak ubahnya seperti “sampah”, tak bermanfaat dan membuat pandangan tidak “sedap” bagi ketertiban tata sosial yang dibentuk oleh orang-orang “normal”. Mereka adalah kelompok “the other”yang tergilas oleh arus besar : “normalitas”.
[caption caption="Akses Untuk Kaum Difabel Selalu Dinomorduakan [foto: juaranews.com]"]
[/caption]