Ah, lagi-lagi saya bercerita soal kopi. Belum bosan kan membaca cerita saya tentang kopi? Saya saja yang nulis nggak bosan kok, he..he. Tulisan kali ini membawa saya pada petualangan kopi di Wamena, Papua. Percaya atau tidak, di kota kecil lembah Pegunungan Jawawijaya itu, ada kopi yang lebih ngetop di Eropa ketimbang Syahrini nyanyi. Penasaran?
KALAU yang ini, seorang sahabat yang sedang bertugas di Wamena, bersedia repot mencari dan membawakan pesanan saya, Kopi Arabica Wamena. Jadi saya anggap kopi mahal, karena dibeli dengan naik pesawat bolak-balik. Kalau sampai rasanya tidak sesuai dengan pewartaanya, pasti akan saya kritisi. Nah, bagaimana rasanya kemudian?
Sedikit mengupas geografi Wamena dari beberapa sumber: Wamena adalah sebuah kota kecil yang terletak di lembah pegunungan Jayawijaya, Papua, Indonesia. Iklimnya sangat dingin dengan suhu antara 15 sampai 20 derajat celcius. Penduduk kota Wamena terdiri dari penduduk asli wamena dan penduduk pendatang dari berbagai Pulau di Indonesia, yaitu dari Jawa, Sumatra, Sulawesi. Suku pendatang yang paling banyak di Wamena adalah Suku Jawa, Toraja, Batak, Bugis, dan Makassar. Para pendatang pada umumnya bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, pengusaha, dan pedagang.
Kota Wamena hanya dapat dijangkau dengan menggunakan pesawat udara dari Bandara Sentani, Jayapura dengan waktu tempuh 45 menit. Maskapai penerbangan yang melayani rute Jayapura - Wamena adalah Merpati, Trigana, dan pesawat kecil Jenis Pilatus yang dikelola oleh Misi. Kebayang bukan bagaimana membeli kopi disana?
Oke, kita kembali ke kopi. Jenis kopi di Wamena adalah Arabica. Seperti Anda tahu, jenis kopi ini rasanya cenderung pahit asam, meski terasa lebih ringan ketimbang jenis robusta. Kopi Arabika Wamena merupakan salah satu kopi produk Indonesia yang sudah mulai dikenal di seluruh Indonesia dan manca negara. Kopi Arabika Wamena tumbuh di lembah Baliem pegunungan Jayawijaya Wamena tanpa menggunakan pupuk kimia, sehingga kopi Arabika Wamena merupakan kopi Organik karena tumbuh subur secara alami.
Seperti biasa, saya tak sabar membuka bungkusnya. Orgasme pertama saya adalah aromanya, wanginya khas. Bubuknya lembut, karena tampaknya olahan pabrik kalau dilihat dari bungkusnya. Tidak seperti kopi di Jawa yang cenderung pekat, kopi Wamena terlihat seperti bubuk cokelat. Ketika saya tuangkan air panas, tidak langsung bercampur cepat, tapi harus diaduk lenbut supaya ngeblend dengan pas. Hmm, kibasan angin membawa wanginya beredar ke seantero ruangan tempat saya membuatnya.
Saya menyeruputnya bak penikmat kopi kawakan. Tidak asam, tidak terlalu pahit. Tapi rasanya tak serta merta hilang dalam sekejab. Seruputan berikutnya membuat saya yakin, kopi ini bebas infekstisida. Kok? Tidak terasa asam karena memiliki kadar asam yang rendah sehingga aman diminum bagi semua orang. Buat Anda yang bisa menikmati expresso di jaringan warung kopi Amerika itu, tentu kopi Wamena terasa biasa-biasa saja. Tapi kalau Anda mencari aroma asli, khas dan rasa yang menenangkan, Kopi Wamena patut Anda jadikan prioritas untuk dicoba. Yeng jelas, buat saya sih lebih enak kopi ini ketimbang Syahrini nyanyi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H