Lihat ke Halaman Asli

Cheerleaders Complex: Popularitasnya Karbitan, Terhempasnya Pun Cepat

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

INDUSTRI musik Indonesia dikejutkan dengan munculnya data 99 % produk musik yang dinikmati masyarakat adalah bajakan. Hanya 1 % saja yang tidak. Meski sejatinya kita sama-sama sudah tahu penyakit kronis ini, tapi ketika fakta dan data angka terpampang di depan mata, keterkejutan itu tidak bisa ditutupi juga.

DILUAR angka-angka kejutan itu, pastilah banyak data lain yang jika  dimunculkan juga akan memberi efek terapi yang “mematikan” pelaku industri. Tapi bukan berarti kemudian semua berdiam diri tidak melakukan apa-apa. Mengubah perilaku masyarakat industri dan masyarakat penikmat, juga bukan perkara mudah. Ibarat bangunan, karakter adalah bangunan yang sudah dicor dengan beton, susah ditembus bahkan dengan alat yang paling keras sekalipun. Analogi itu menggambarkan kondisi dan perilaku yang terjadi di dalam industri musik itu sendiri.

Melipir pada pelaku industri, dalam hal ini musisi yang terlibat di dalamnya. Tidak terlalu banyak kejutan berarti dalam perkembangan musik Indonesia. Nama-nama yag berkibar masih nama-nama yang disorongkan oleh label [besar] juga. Nama-nama baru yang menyelip, kalau tidak benar-benar diolah dengan maksimal secara karya, aransemen dan kemampuan diri, silakan minggir saja. Daripada bikin pusing dan buang-buang duit saja.

Perkara sikap musisi baru pun belakangan marak diperbincangkan. Dalam kasak-kasak dengan pelaku industri musik, musisi [dan artis] sekarang sebenarnya adalah para penganut cheerleader complex. Istilah ini dipopulerkan oleh John Hohenberg dalam bukunya The Professional Journalist. Johan memaknainya sebagai “orang yang hanya berhura-hura mengikuti arus yang sudah ada, puas dengan apa yang ada, puas dengan yang tampak di permukaan, serta enggan atau malas belajar dari kekurangan yang disebut.

Mengapa saya berani mengatakan seperti itu? Karena kondisi riilnya memang begitu. Banyak musisi baru yang melejit, kemudian tidak berhati-hati dengan perilaku dan habit-nya, akhirnya hanya tampak “istimewa” di permukaan saja, tapi sebenarnya dalamnya rapuh dan murah ambruk.

Musisi itu harusnya seperti jurnalis [bukan jurnalis bodrex ya], mendorong terjadinya gelombang perubahan. Jadikan perubahan –tentu saja positif—hukum dari dunia musik itu sendiri.  Bukan berubah secara fisik, tapi berubah utuh dalam pemikirian, karya, dan kualitas perilaku. Sensor diri harusnya datang dari diri sendiri. Masyarakat diluar dirinya, hanya menjadi ‘anjing penjaga’ yang menggonggong kalau sudah melewati batas yang dianggap tidak wajar.

Musisi Indonesia, Karbitan?

Siapa bilang musisi Indonesia karbitan? Dari banyak lini, tidak sedikit musisi Indonesia yang menjadi pembicaraan di dunia musik internasional. Prestasinya tidak bisa diremehkan. Misalnya Kenan Loui Widjaya - anak muda yang menjadi juara dunia electone, Gugun & The Blues Shelter dan Free On Saturday [FOS] yang menjadi kampiun mewakili Indonesia tampil di HardRock Calling bareng musisi-musisi kelas dunia. Lalu mengapa mereka kebingungan di industri yang kelimpungan ya?

Sebuah pernyataan dari seorang musisi rock Indonesia, cukup menggelitik saya. Dia mengatakan, "Kita kebingungan sebenarnya, ketika band-band bagus dapat penilaian oke dimana-mana, tapi di negaranya sendiri malah tidak mendapat sambutan yang seharusnya. Biasa-biasa saja. "Tak hanya berhenti disitu kebingungan musisi tersebut," Yang dapat review keren di luarnegeri, ketika balik ke Indonesia seolah malah tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak ada dampak apa-apa ke individu atau kelompok musik lainnya. "

Oke, mari kita menoleh sebentar ke industri musiknya. Saya pernah menulis, bahwa industri musik Indonesia, tidak seindah yang tampak dan dipamerkan artis atau musisi anggotanya. Tahukah Anda, kalau kerugian soal ilegal download menembus angka 6 milyar sehari? Tahukah Anda kalau ilegal download sudah mencapai 99%. Tinggal tunggu saja kapan hal-hal yang ilegal itu bertahta dan menjadi pemegang saham mayoritas.

Hadirnya "CD bajakan" dalam list belanja anak muda, membuat industri musik Indonesia gundah gulana. Sebuah kondisi yang membuat "Belanja Terus Sampai Mati" dari Efek Rumah Kaca terdengar lebih menyeramkan bagi para pelaku industri musik Indonesia. Jika saja CD original yang masuk dalam daftar belanja, mungkin lagu itu akan terdengar sebagai harapan menyejukkan di tengah-tengah kusutnya penegakan hukum hak cipta. Sayangnya, belanjaannya bajakan tadi.

Ini memang seperti David melawan Goliath. Industri yang lempeng dan main cantik, tentu akan dikanibalisasi perusahaan seniornya. Dengan catatan: hanya bisa nge- push, tapi nggak pernah ada solusi terang. Artinya juga, sebenarnya perusahaan-perusahaan musikal itu juga sedang melihat celah apalagi yang bisa dikeruk. Dikeruk disini lebih kepada mencari peluang untuk menyusup. Mengandalkan hal-hal standar dan mainstream, rasanya terlalu bodoh dan naif sekarang ini.

Dalam sebuah obrolan santai dengan sesorang yang dianggap sesepuh di industri musik Indonesia, saya mengambil kesimpulan bahwa industri musik juga sedang kebingungan sekarang ini. Entah bingung dengan pembajak-isu yang basi, ilegal download, atau kebingungan mengapa industri dan musikalitasnya sudah tidak bisa dipegang lagi. Semua seperti bola liar yang mental kesana-kemari. Tidak adanya dukungan resmi dan jelas dari pemerintah kepada seniman dan musisi, menambahkan "kepuyengan" mereka. Padahal ranah ini kerap mengharumkan nama Indonesia di jagat yang lebih luas.

Kalau presidennya saja cuek ketika albumnya dibajak, di- ilegal download,bagaimana dengan musisi-musisi yang jelas-jelas tidak punya power untuk mengubah kebijakan? Keluhan basi sebenarnya, tapi tetap harus diingatkan agar tetap bisa bergaung tidak hilang seperti bau kentut. Padahal, dari data yang penulis dapat, Indonesia kehilangan 600 miliar pertahun gara-gara website musik ilegal. Mau tahu angka kerugian yang ditimbulkan pembajak musik setiap tahunnya? Dan angkanya pasti meningkat. Tapi jangan kaget, kalau kisaran 2 triliun setiap tahunnya terenggut. Musisi untung? Boro-boro, karena mereka hanya mengandalkan angka-angka dari label dan job manggung yang sukur-sukur kenceng.

Ketika seorang musisi yang beberapa kali manggung di luarnegeri mengeluh, saya jadi bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi di balik semua angka normatif yang terpampang di data-data asosiasi musik Indonesia? Benarkah ada "orang dalam" yang begitu tolol mengkhianati musik Indonesia dengan menjadi "agen ganda" pembajak dan industri resmi? Rasanya kok bodoh sekali kalau ada yang bermain-main seperti itu, meski angka yang terpampang amatlah tinggi dan menggiurkan.

+ +

Musisi yang punya karakter bagus, musikalitas mumpuni, bahkan diakui karyanya tidak hanya di kampungnya sendiri saja mengaku masih kebingungan, mengapa musiknya sulit banget diapresiasi bangsanya sendiri. Menjadi pertanyaan menarik, apakah musisi masih perlu dan butuh diapresiasi tapi nasibnya beigitu-begitu saja?

"Yang dibutuhkan musisi dan musik adalah persatuan!" Teriak seorang musisi kepada penulis. Menurutnya, apresiasi tidak perlu ditunggu karena hanya akan jadi pajangan basi. "Tugas kita seniman dan musisi adalah berkarya" celetuknya. Tapi sinergi dengan pihak lain pun akan membuat semua bisa jalan dengan baik, termasuk label, media dan manajemen.

Kalau kemudian industri kelimpungan, musisi kebingungan, siapa bisa menjernihkan? Atau kebingungan dan kelimpungan itu bakal bertahan lama karena sama-sama mengantisipasi pergerakan industrinya?

Kebingungan-kebinguangan industrial itu kemudian diramu dengan perilaku pelau industrinya yang kurang pada tempatnya, untuk tidak mengatakan menyebalkan. Bahwa merasa sudah menjadi artis adalah segalanya, rasanya perlu dibenahi. Hal ini sebenarnya sudah pernah dibahasa atau sering diungkapkan dalam banyak tulisan. Tapi perkembangan “kesombongan” ternyata ikut meningkat pesat.

Beberapa hal yang amat perlu diperhatikan oleh musisi atau manusia yang ingin jadi musisi profesional dan terkenal adalah:

Musisi Harus Bertanggung Jawab Pada Kebenaran Karya

Jangan pernah melakukan jiplak-isasi, plagiat, mencuri atau maling dan kemudian terang-terangan mengklaim itu adalah karyanya sendiri. Kebenaran itu pasti terungkap. Kebenaran kastanya lebih tinggi ketimbang tipu daya.

Loyalitas Musisi Adalah Kepada Masyarakat

Menjadi musisi onani boleh-boleh saja, membut karya, kemudian dinikmati sendiri. Kalau memang karyanya tidak ingin jadi konsumsi publik. Tapi kalau sudah berniat menjual karyanya untuk bisa dinikmati umum, loyalitasnya kepada masyarakat. Artinya, musisi harus ikut bertanggungjawab sebab akibat dari karyanya itu.

Kewajiban Utama Musisi Adalah Kompromi Dengan Suara Hatinya

Pendapat yang utopis atau omong kosong? Buat Anda –musisi yang pelacur, mungkin benar. Tapi real musisi pasti akan membuat karya atau membantu karya orang lain, dengan benar-benar berkaca kepada hati nurani dan kata hatinya. Kalau tida sesuai, lenbih baik abaikan dan tinggalkan daripada jadi racun di tubuh, jadi penyakit dan membunuh perlahan-lahan.

Musisi Indonesia Punya “Virus” Akut

Dalam kacamata Agatha Novi Ardhiati, psikolog dari Universitas Atmajaya Jakarta, perilaku cheerleader complex tidak berhubungan dengan genre tertentu. “Semua genre bisa terkena hal ini kokNot specifically. Lebih ke genre musik apa yang lagi hype, mungkin. Setelah si genre ini tidak ramai lagi, biasanya musisi-musisi janis ini akan menghilang sih,” jelasnya ketika dihubungi penulis.

Menurut psikolog yang juga seorang dosen ini, cheerleader complex dan kemampuan -apapun- yang dimiliki seseorang, tidak terlalu ada kaitannya dengan kemampuan musikal seseorang atau kemampuan analisa diri dan kemampuan manajerial diri seorang musisi baru, sedang ngetop, atau sudah pernah ngetop.

“Pihak-pihak yang kita duga punya cheerleader complex bukan berarti tidak punya kemampuan tertentu, musik misalnya. Mereka bisa kok main musik dengan bagus, nyanyi juga oke, mungkin juga bisa bikin lagu, tapi jadi sulit karena mereka belum nemu warnanya sendiri,” imbuh Agatha.

Dari pengamatannya, hal itu lebih berkaitan sama kepekaan terhadap diri sendiri. “Apa yang sudah kita punya dan apa yang kita tidak punya, pengetahuan tentang hal-hal keahlian musikal dan kemampuan analisa diri, bisa jadi modal buat mereka untuk mengembangkan warna mereka sendiri. Dan tidak perlu jadi semacam kesombongan,” tandasnya.

Apakah semua manusia [baca: musisi] punya kecenderungan untuk terjangkitcheerleader complex?

“Ini berkaitan dengan sifat individual kok. Orang-orag atau musisi yang punya sifat X –sebut saja begitu—pada dasarnya sudah punya potensi untuk munculnya cheerleader complex tadi. Mereka hanya butuh trigger-nya saja. Kalau konteksnya musisi baru, bisa jadi trigger-nya dari mengamati kondisi musisi-musisi sebelumnya yang sudah lebih sukses. Bisa jadi mereka simply ingin jadi seperti musisi idola ini, cuma akhirnya yang diikuti hanya hal-hal yang perifer-nya aja, tanpa coba menganalisis lebih lanjut apa yang sebenarnya bisa bikin musisi idolanya bisa jadi sekeren sekarang.

Munculnya cheerleader complex adalah sinergi busuk dari dari konspirasi industri yang membingungkan, keinginan diri untuk eksis dan populer tanpa proses panjang, dan parameter idola yang kebetulan agak begajulan.Kemudian disokong salah kaprah tentang menjadi rockstar atau popstaryang salah. Materi dan popularitas di atas segalanya-kah?

Saya tidak bisa menghakimi bahwa mereka yang muncul dengan cheerleader complex itu, mendewakan materi dan popularitas saja. Menurut saya, pertama, lebih ke soal identifikasi diri yang bisa dibilang masih berproses dan belum selesai. Sangat tidak mudah, apalagi buat para musisi baru ini, untuk nemuin ciri khas dan jati diri mereka sebenarnya. Belum lagi kalau ngomong soal tuntutan pasar. So, walaupun tidak bisa dibilang sebagai cara yang paling gampang, tapi cukup feasible supaya mereka bisa muncul ke permukaan adalah dengan mengidentifikasikan diri mereka ke musisi yang sudah ada sebelumnya,” papar Mbakdos –panggilan karib psikolog ini.

Hal lain –masih menurut Mbakdos-- ada kaitannya dengan acceptance dari orang lain. “Kebutuhan kita untuk jadi bagian dari dan diterima di suatu kelompok, itu sama sekali bukan hal yang aneh, bahkan buat kita-kita yang bukan musisi. Ini juga yang mendorong mereka untuk mengidentifikasikan diri ke musisi-musisi yang relatif diterima sama masyarakat. Meski gayanya mungkin agak bertentangan,” imbuhnya.

Tapi dari semua uraian di atas, “kuman penyakit” yang paling mudah menjangkiti musisi sekarang adalah cheerleader complex. Coba berkaca dengan jujur, apakah Anda –yang mengaku musisi—sudah terjangkiti virus itu? Kalau belum, pandai-pandailah menghindar, tapi kalau sudah, cepat-cepat berobat sebelum Anda mati pelan-pelan. Melejit dengan cepat ke atas nirwana popularitas, terjangkit cheerleader complex, ketika terhempas bakal berdarah-darah atau malah mematikan popularitas itu. Madu di tangan kanan, parang di tangan kiri. Pilihanmu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline