Lihat ke Halaman Asli

"Tuhan" Bernama Social Media, "Nabi" Bernama Update Status, "Umat" Bernama Follower

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1356586897748590573

SEBENARNYA, manusia itu butuh eksistensi, pengakuan dan afeksi [status kejiwaan yang disebabkan oleh pengaruh eksternal]. Ketika menjadi manusia penyendiri –seolah tidak butuh energi dari luar dirinya—manusia itu sedang membohongi dirinya sendiri. Lalu apakah narsis, comel, bawel, lebay, dan seabrek istilah yang artinya individualis, sebuah kesalahan besar bagi manusia?

+++

PERKEMBANGAN social media [socmed], sudah seperti tsunami yang tidak bisa dibendung. Apapun yang sedang ngehits, selalu bakal punya pengikut [saya lebih suka memakai istilah ini, ketimbang pengguna] yang bejibun. Alasannya macem-macem, takut dibilang nggak gaul, nggak eksis, nggak IT- Minded, sampai meski dalam konteks guyon, takut dibilang kampungan. So, dari era Friendster [OMG! lawas ya], Facebook, Twitter, Path, Google +, MindTalk, dan masih banyak yang akan ngehits kelak, sudah seperti emas lantakan yang diburu banyak orang. Pertanyaannya, apakah semua orang perlu emas?

[caption id="attachment_224110" align="alignright" width="300" caption="Pengguna Social Media Sekarang Sudah Seperti Kecanduan - Foto: tysullivan.blogspot.com"][/caption]

Oke, berapa banyak dari Anda yang tidak punya akun twitter? Atau Facebook? Saya jamin, meskipun bukan pengguna aktif, nyaris semuanya punya. Perhatikan baik-baik timeline Twitter Anda, dan lihat berapa banyak cuit-cuit yang Anda terima dalam satu detik. Beneran, sudah bukan itungan menit lagi loh. Terus berapa pengikut [follower] Anda? Secara sambil lalu, seorang kawan pernah nyeletuk,

Kalau pengikut gue nyampe sejuta, udah bisa bikin agama baru nih.”

Selepetan iseng, tapi cukup membuat saya berpikir. Benar juga ya? Mengapa? Karena meski kadang-kadang nyampah di TL, tapi seringkali apapun yang kita cuit langsung disambar dengan komentar lanjutan. Yang kadang-kadang –sorry— nggak penting-penting amat. Tapi atas nama eksistensi dan pergaulan, yang nggak penting-penting amat tadi, wajib –benar, wajib—dijadikan agenda rutin.

Fanatisme terhadap social media memang menggelisahkan. Sebagai kekuatan baru di dunia internet, social media memang temuan jenius dari penemunya. Mengapa? Karena semuanya menjadi mudah, mungkin, dan terintegrasi. Meski kadang-kadang juga jadi pembohong, gombalis, narsis, penipu, penjahat paling ulung.  Tidak peduli negara lagi kisruh, pacar lagi ngambek, mertua lagi ngomel, atau suami ketahuan ngegandeng perempuan lain, teteeeep saja kita akan lihat cuit-cuit atau status FB yang seolah bahagia, menyenangkan, atau malah menyedihkan, emosi.

Social sok Special

Persoalannya adalah, kini makin banyak orang yang berseliweran mengupdate status, yang jelas-jelas tidak penting. Status menjadi ajang gosip, ngrasani, bully, atau yang lebih parah menggantikan peran tatap muka secara emosional, menjadi robot tanpa rasa apapun.

Saya tidak tahu, apakah ini memamg gaya orang timur, berceloteh, berkoar, bercuit-cuit, di semua tempat, di segala abad, dan di semua suasana. Bayangkan,  [sorry] kentut saja kita harus nyetatus. Pernah baca status:

“Lagi mens! Hati-hati.”

“Di toilet, bentar ya!”

“Atasan nyebelin, mampus ajah.”

“ Makan enak, ada yang mau?”

“Si A katanya hamilin si C yak?”

Dan masih banyak lagi status yang membuat kita berkerut, gatal untuk komen, atau malah geregetan untuk ngomel-ngomel karena kita anggap tidak pada tempatnya dibuka di ranah publik. Kalau hanya [maaf] beol saja, masak perlu di-twit. Kalau hanya menstruasi saja, masak semua orang harus tahu?

+++++

Siapakah saya yang bisa memberikan kiritikan kepada penggunaan socmed? Lah wong saya juga pengguna socmed kok. Tapi tidak salah dong kalau saya merasa memilik keharusan memberikan catatan kritis kepada siapapun yang mendewakan socmed, apapun itu.

Sepengamatan saya, kini semua manusia [nggak mungkin ya kucing cuit-cuit di twitter], selalu menyematkan apapun yang terjadi dalam hidupnya, apa yang dia lihat, alami, untuk dibagikan ke publik. Kita sudah tidak melihat, apakah yang kita sampaikan itu pantas atau tidak dibagikan ke ranah umum. Pokoknya share, titik! Dan, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki pengguna socmed terbesar di dunia, jadi tidak heran bila hal-hal sepele tersebut memenuhi status-status di socmed.

Hareee geneee nggak punya sensor personal? Kita bukan orang bodoh yang ingin mempertontonkan kebodohan kepada publik. Kita bukan orang tolol yang malah pamer ketololan dengan status-status bocoh kita. Social sok spesial. Malah sok sial, sok spesial. Apes.

Tidak aneh memang, wajar saja, karena itu adalah hak masing-masing pengguna socmed. Tetapi, lebih keren dan berpendidikan kalau kita bisa memilih dan memilah dalam menggunakan fasilitas yang ada di socmed. Jangan hanya jadi ‘keranjang sampah’  sebagai tempat pelampiasan emosi semata, mencaci maki dan menuliskan kata-kata yang tidak pantas, mengunggah foto-foto yang tidak senonoh, menceritakan aib seseorang atau justru menceritakan aib rumah tangganya sendiri, dan lain-lain. Namun, ada hal yang lebih aneh lagi yaitu memprioritaskan update status ketika sedang mengalami bencana, baik bencana alam, kecelakaan, maupun bencana yang berpotensi menghilangkan nyawa lainnya.

Contohnya,  kecil ketika hujan deras, angin kencang dan menumbangkan pohon di pinggir jalan, apa yang mereka lakukan adalah mengambil foto, menggungahnya dan membuat status tentang hal tersebut. Memang, info yang sangat bermanfaat bagi orang lain, namun mereka [orang yang melakukan hal tersebut] tidak melihat bahwa bahaya sedang mengancam jiwanya. Jadilah manusia yang senang berbagi, tapi juga cerdas,. Kalau membahayakan diri sendiri, namanya bodoh om.

Atau, ketika baru saja mengalami kecelakaan. Apa yang terjadi? Si korban akan langsung update status dengan mengatakan "aku kecelakaan... diserempet mobil, luka-luka, sakit banget..." plus dengan emoticon meringis atau menangis. Walah, mengapa tidak langsung menuju ke rumah sakit atau klinik terdekat, tapi justru meng-update status ya?

Anda pernah melakukannya? Jujur saja, ketika Jakarta pernah diguncang gempa beberapa waktu lalu, nyaris semua TL yang ada, isinya berceloteh soal gempa.  Banyak yang membuat status ketakutan karena bekerja di gedung yang bertingkat, namun masih sempatnya update status lebih dulu daripada menyelamatkan dirinya. Aneh. Sangat aneh. Bukankah keselamatan lebih penting daripada update status? Dan, bukankah lebih baik mengkhawatirkan dan segera menghubungi keluarga? Apa dipikir, keluarganya juga buka Twitter, Facebook atau Path ketika terjadi bencana?

Apakah berlebihan kalau manusia sekarang saya sebut sudah “menuhankan” socmed? Buat saya ini benar-benar menjadi momok yang sangat mengerikan. Kesenjangan sosial terlihat sangat timpang, lapak-lapak dagangan apa pun menyeruak ke mana-mana, berbagai promosi memenuhi jendela socmed, tag-tag orang yang tidak penting, kata-kata galau yang mulai menyelimuti seluruh status, caci maki ke orang-orang yang dibenci, dan lain sebagainya. Hanya satu kata, "mengerikan".

Memang benar, bila socmed tidak digunakan dengan baik dan difungsikan sesuai dengan tujuan yang aman maka lambat laun socmed akan menjadi bumerang yang berbalik arah untuk menghajar penggunanya. Banyak kasus kecelakaan terjadi karena terlalu asyik dengan dunia socmed-nya, karena mereka terlalu larut dalam dunia maya hingga tidak menyadari bahaya yang berada di sampingnya. Meski begitu, pengguna socmed tetap tidak akan berkurang, justru semakin bertambah. Socmed memang penyita dan pemborosan waktu terbesar sepanjang sejarah.

Selalu ada sisi negatif dari hal-hal baru yang canggih dan modern. Selalu saja ada yang salah dari suatu produk yang bahkan telah mengantongi gelar "perfect product". Selalu saja ada yang salah mengartikan dan menggunakannya. Selalu saja ada yang suka dan membenci.

Saya ingin berbagi cerita soal ilmu pengetahuan ini. Bukankah produk socmed adalah ciptaan intelegensia manusia? Tapi ada hal-hal kecil yang harus Anda cermati. Francis Bacon, seorang filsuf Inggris pernah mengatakan begini: “Pengetahuan adalah kekuatan, siapapun pelakunya”.

Nah, orang yang memiliki pengetahuan bisa punya kekuatan yang melebihi kekuatan senjata. Sekadar menoleh ke sejarah, Fir’aun yang abadi dalam sejarah, ternyata kekuasaannya dibangun tidak semata-mata dengan kekuatan militer. Pada saat berkuasa, Fir’aun memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi sebanyak 20.000 buku.

Nah, kalau Anda merasa punya pengetahuan, termasuk soal socmed, rasanya perlu membaca apa yang dikatakan budayawan besar kita, Pramoedya Ananta Toer, “Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia, dia pun tidak berpribadi.”

Ilmu pengetahuan lahir dari ketidaktahuan, namun pengetahuan juga dapat menghabisi apa saja yang kita ketahui. Anda punya pribadi yang cerdas dan menyenangkan bukan ketika ber-social media?

*tulisan ini pernah dimuat di Majalah Djakarta!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline