Lihat ke Halaman Asli

Saya Menentang Jurnalisme Sektarian

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

135567816968734900

Benarkah Trie Utami Pindah Agama? Michael Jackson Masuk Islam? Nafa Urbach Masuk Kristen? Rianti Cartwright Masuk Kristen? +++ Kamu pernah membaca judul-judul berita seperti di atas? Atau mungkin mendengar presenter  infotainment bertutur seperti itu lengkap dengan penjelasan dari A sampai Z? Kalau pernah, apa yang Anda rasakan? Kegembiraan karena seorang publik figur pindah agama sama dengan Anda? Ikut menghujat karena pindah agama yang berbeda dengan Anda? Berita-berita di atas disampaikan dan ditulis bukan oleh media yang mengkhususkan diri pada agama tertentu [meski media-media khusus itu biasanya juga mengulas panjang lebar]. Media-media itu media sekuler yang ditonton oleh kalangan heterogen. Media-media itu menampilkan audio dan visual, yang bisa menimbulkan banyak interpretasi. [caption id="attachment_222095" align="alignright" width="300" caption="Murid Kenedy Memorial Foundation Grants, bermain bersama tanpa merasa ada perbedaan denngan yang lainnya [foto: kenedy.org"]"][/caption] Media –tanpa menyebut satu media tertentu— begitu bangga memberitakan soal keributan keluarga yang –konon— salah satu alasannya adalah si artis pindah agama. Media begitu bangga menulis panjang lebar  tentang perasaan “nyaman” si artis setelah pindah agama [dengan embel-embel dibanding agama terdahulu]. Media begitu bersorak ketika seorang artis menemukan “hidayah” dan masuk agama tertentu. Apakah salah jurnalisme –yang penulis sebut jurnalisme sectarian—seperti itu?  Lantas bagaimana dengan media yang jelas-jelas menjurus ke arah sektarianisme? Menurut hemat saya, informasi-informasi sektarian seperti itu sepantasnya diletakkan dalam porsi yang tidak terlalu mencorong. Bukan persoalan agamanya yang penting, tapi persoalan kehidupan yang bisa dilihat [karena yang tidak bisa dilihat, sudah masuk urusan private] yang seharusnya menjadi pertimbangan. Meskipun kata “agama” sering didefinsikan secara berbeda-beda oleh para ahli, penulis cenderung menerima kata ini sebagai istilah praktis yang bisa kita pakai untuk menyebut system kepercayaan manapun, entah Islam, Kristen, Budha, Hindu, bahkan yang tak beragama sekalipun. Kita sedikit “melambung”  ketika disebut_sebut nyaris semua agama melahirkan peradaban besar. Fatal yang menyebut hanya Islam yang melahirkan peradaban besar! Fatal pula hanya Kristen yang menciptakan quantum leap peradaban!  Fatal juga ketika ada klaim Hindu dan Budha-lah yang sebenarnya melahirkan peradaban itu. Beragama [atau tidak] itu bukan urusan wartawan, bahkan bukan urusan negara sekalipun. Pilihan itu benar-benar murni dari hati! Bukan karena disodori jabatan, sandang pangan, atau bahkan ancaman kekerasan yang sering kita lihat di negeri ini. Lalu bagaimana wartawan memaparkan kebebasan idealnya tanpa menjadi ‘kompor’ pertentanngan secara tidak langsung? Buang, pandangan-pandangan picik dan kegembiraan ‘berlebihan’ dalam pemberitaan artis atau public figure yang pindah agama.  Wartawan jangan jadi hakim moral dan merasa berhak mencampuri pilihan seseorang. Wartawan harus punya kesadaran individual yang paling dalam tentang pilihan religiusitasnya.  Wartawan harus pandai mencermati “fatwa-fatwa” atau “surat gembala”  yang sebenarnya bisa dikritisi lebih baik.  Ketika kita menerima segala sesuatunya mentah-mentah –meski kadang-kadang diembeli ayat-ayat pendukung—sebenarnya kita menjadi “katak dalam tempurung” yang tak bisa melihat dunia lebih lebih luas dan lapang. Saya menentang jurnalisme sektarian…




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline