Lihat ke Halaman Asli

Maha Bhiksu Dutawira Sthavira: Pesan Perdamaian 'Pesantren Budha'

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti dari kelompok bunga-bunga dapat dirangkai banyak karangan bunga, demikian pula dalam suatu kelahiran seorang manusia dapat melakukan banyak perbuatan baik. [Dhammapada 53]

Jaringan kalimat itu, tertulis di salah satu situs milik umat Budha. Sederhana, tapi punya makna yang tidak mudah melakukannya.

+ + + + + +

BERBICARA dengan sosok rohaniwan Budha bernama Maha bhiksu Dutawira Sthavira, kita seperti merasakan aliran air yang dingin, seperti merasakan hembusan angin yang semilir. Adem dan menenangkan. Cara bicaranya tidak meledak-meledak, cenderung kalem. Tapi jelas, penguasaan diri dan wawasan religinya tidak bisa dipandang remeh. Bernama asli Wong Kian Khiong, pria yang lahir di daerah Senen Jakarta, 21 Mei 1954 ini bisa dikatakan asli Jakarta.

"Saya tahu sekali karakter orang Jakarta, karena sejak kecil pergaulan saya memang dengan orang-orang asli Jakarta, "kata bhiksu yang menjadi Kepala Vihara Avalokitesvara / Kwan Im Se di daerah Mangga Besar Jakarta. Suhu Dutawira - begitu umatnya memanggi l - adalah juga penulis tetap di salah satu koran di Jakarta. Bahkan, kelompok tulisannya sudah dibukukan menjadi buku berjudul "Pencerahan Batin".

Menarik melihat judulnya, karena ternyata dalam obrolan dengan penulis, Suhu Dutawira banyak menyinggung soal pencerahan batin. Sudut pandangnya menjelajah dari sisi yang tidak pernah kita bayangkan, tapi sebenarnya sangat erat dengan kehidupan kita. "Kalau kita bicara perdamaian, ada beberapa hal yang harus kita sepakati. Pertama, internal dalam batin. Itu kembali ke individu. Di Indonesia, harusnya hal ini tidak jadi masalah. Ketika kecil, saya tinggal di kampung di daerah Kramat Pulo Senen. Di sekitar saya ada madrasah, mesjid, dan mereka tidak pernah menganggap kami berbeda," jelas pria yang menerima Upasampada bhiksu di Taiwan, tahun 1978.

Di kacamata alumnus Sekolah Tinggi Misionaris Agama Buddha Nan Phu To Fo sien Yen di Taiwan - Thai Chung, Lulusan angkatan III tahun 1981, semua kehidupan akan berjalan seimbang ketika tidak ada kepentingan yang memanfaatkan dengan tidak benar. "Kalau sudah mulai ada yang mengambil keuntungan dengan tidak benar, keseimbangan itu biasanya akan terganggu," imbuh Suhu Dutawira lagi.

Obrolan dengan Suhu Dutawira, sesekali dihentikan karena banyaknya tamu yang ingin bertemu dan murid-muridnya yang sedang menunut ilmu agama Budha di viharanya. "Mereka sedang belajar di pesantren Budha," begitu istilah yang dipakai oleh Pendiri Sangha Mahayana Tanah Suci Indonesia ini sambil tersenyum ramah. Sesekali juga terdengar suara adzan dari mesjid yang berdiri tidak jauh dari Vihara yang didirikan oleh seorang biarawati yang bernama Kho Nio Lim Giok Tien, tahun 1936.

Kedua, adalah hubungan formal antara organisasi. "Ada yang merasa dirinya superior dan lebih kuat dibanding yang lain dan punya gaya yang tidak enak dlihat. Buat kita umat Budha, tidak ada persoalan. Setiap aktivitas apapun yang bisa kita bantu, kita akan bantu, "imbuh Suhu Dutawira.

Pencerahan Batin Menurut Suhu Dutawira, untuk mencapai damai dan tataran kedamaian yang ideal, seseorang memang harus mengalami sesuatu yang disebut "kesejahteraan batin". "Proses menemukan kesejahteraan batin itu harus alamiah dan tidak ada teorinya. Saya percaya, manusia akan tenang kalau mendapat perhatian. Orang akan menganggap kita dan mereka sama, kalau kita membaur, "tambah bhiksu Tertinggi Pusdiklat Buddha Mahayana Tanah Suci Surga Sukhavati.

Dari sudut pandang pria yang juga menciptakan lagu-lagu rohani Budha ini, hal itu akan lebih mudah jika dilakukan oleh yang besar kepada yang kecil. "Kalau yang kecil harus memulai, biasanya lebih susah meski itu bukannya tidak mungkin," sambungnya. Dalam kacamata pluralisme dan peleburan, Shi Chuan Siung-ini sebutan Diksa dalam Budha-percaya, yang dominan dan kuatlah yang menentukan. Suhu Dutawira tak menampik kalau Budha adalah minoritas dalam minoritas. Tapi bukan bagian kecil itu yang jadi persoalan, tapi bagaimana mereka bisa memberikan arti kepada orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline