Lihat ke Halaman Asli

Filosofi BACEM - Kearifan Tanpa Topeng

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

BAGI sebagian orang, menyebut bacem mungkin sama dengan ndeso.Pemikiran yangterdoktrin lama, lantaran bacem adalah representasi kesederhanaan. Mungkin identifikasi ini sebenarnya ketakutan masyarakat urban ketika tahu olah batin yang dirasakannya, sejatinya selalu merujuk pada ke-tidak-adaan.

+ + +

SAYA adalah penggemar, kalau tidak dikatakan penggila, bacem. Tempe atau tahunya. Warnanya yang cokelat gelap, kusam, cenderung tidak menarik, mungkin tak membuat orang berselera menyentuhnya. Tapi sejumput mencobanya, manis dengan racikan bumbu yang meresap, segera menjadi 'hipnotis lidah' yang tiada duanya. Meski yang saya tahu, tidak semua orang bisa membuat bacem dengan rasa yang dahsyat.

Mengapa saya membuat bacem sebagai pijakan filosofis? Makanan ini lahir di derah Jawa Tengah bagian timur, berdekatan dengan Jogjakarta. Gurih dan manis adalah ciri khasnya, selain tentu saja dampak marjinal yang diusungnya. Bacem menjadi satu eksistensi sebuah kesederhanaan yang meruntuhkan kebekuan dan mencairkan entitas kasta. Konon, ketika berkunjung ke Indonesia, Presiden Amerika Serikat Barack Obama pun, menikmati bacem dengan antusias.

Kita akan menemukan bacem di komunitas kali lima, bahkan yang paling marjinal sekalipun. Tapi kita juga melihatnya dalam level kemanusiaan yang disanjung tinggi di tataran papan atas. Bacem bisa menjadi identitas budaya yang perkasa dan tidak mengada-ada, tanpa kepalsuan, mengintimidasi rasa malu dan muncul sebagai sebuah kebanggaan.

Ketika banyak manusia berkubang dengan hedonisme, egosentris dan sikap permisif yang mengabaikan jati diri, supaya bisa disebut modern dan kekinian, bacem tetap menjadi dirinya sendiri. Gelap, cokelat, kusam. Meski dalam kacamata kreatifitas, mulai banyak disinergikan dengan menu lain. Tapi bukan sekadar tetap nikmat dan dinikmati dalam realita apapun, tapi berdiri tegak tak berubah di tengah pusaran perubahan, membuat bacem menjadi semacam titik yang tak tergeser.

Bacem juga bagian dari glenak-glenik ringan tentang menjadi bagian dari keberagaman merajut persaudaraan. Dalam konotasi filosofis, bacem sudah bisa ditahbiskan sebagai sebuah usaha untuk menemukan kearifan. Logika Anda mungkin nyinyir, berusaha mencari korelasi bacem dengan kearifan. Tidak usah susah payah menelusurinya. Pemahaman bacem adalah olah batin wajar tanpa topeng. Sesimpel itu kok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline