Lihat ke Halaman Asli

Harmoni Kota dan Desa

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagaimana cara orang kota menatap desa? Di koridor mana orang-orang kota meletakkan desa? Kalau berdasar teori kebutuhan, orang-orang kota menempatkan desa sebagai hal yang primer, sekunder, atau tersier, atau tergantung suasana dan kepentingan mereka?

Pagi tadi saya mendengar anak kelas tiga SD membaca keras-keras buku IPS-nya. Isinya tentang hubungan kota dan desa. Isi materi yang ia baca kurang lebih seperti ini.

Orang kota membutuhkan desa untuk urusan-urusan sebagai berikut

1. Sumber makanan.

2. Sumber tenaga kerja.

3. Penghasil Sumber daya alam

Sementara orang desa membutuhkan kota untuk hal-hal semacam

1. Mendapatkan akses teknologi pertanian

2. Mendapakan pupuk.

3. mendapatkan barang-barang kebutuhan dan hiburan.

Informasi dalam buku itu menunjukkan hubungan timbal balik yang harmoni antara desa dan kota. Pembuat buku itu barangkali berharap agar hubungan harmoni itu bisa terlaksana, agar anak-anak mengerti bahwa di antara desa dan kota tidak ada yang lebih hebat, lebih bagus, atau lebih buruk.

Secara Teori sih begitu. Tapi faktanya, apakah hubungan harmoni desa dan kota semesra dalam buku itu? Jika iya, saya mau bertanya. Jika desa dianggap penting oleh orang kota sebagai penyedia ini dan itu, mengapa ribuan penduduk desa memilih hijrah ke kota, meninggalkan kehidupan mereka dan mencari penghidupan yang lebih layak di kota. Jika fungsi desa sama pentingnya dengan kota, mengapa murid-murid dan mahasiswa enggan bercita-cita menjadi petani yang notabene pekerjaan yang berbasis di desa.

Ternyata, hubungan desa dan kota yang mesra itu belum tercapai. Hubungan semacam itu masih menggantung di angan-angan dan di dalam buku anak SD.

Orang-orang kota makan beras, sayur, buah, daging sapi, ayam, telur, susu, tempe, garam dan lain-lain tanpa pernah tahu dan berpikir dari mana sumbernya, siapa yang menanam, bagaimana caranya bahan-bahan itu sampai di meja makan mereka. Mereka tidak mau tahu. Ketidaktahuan mereka disebabkan ketidakpeduliaan. Mereka tidak pernah memuliakan petani, diam-diam mencekoki anak-anak mereka untuk menjauhi pekerjaan kotor, berlumpur dan berteman dengan sapi.

Bagi mereka desa hanyalah lumbung untuk mendapatkan lebih banyak materi. Setiap tahun mereka menginvasi desa, mengganti sawah dan ladang menjadi perumahan. Jarang ada orang kota yang mau investasi dalam bidang pertanian, karena tidak menguntungkan, bagi mereka bisnis properti lebih hijau dan basah dibanding tanam menanam.

Begitu pula orang desa. Jarang ada yang bangga dengan pekerjaannya. Orang-orang desa menyembah-nyembah kepada anak mereka untuk sekolah tinggi agar tidak bernasib seperti bapak dan ibunya yang petani. Ironi. Anda boleh menyangkal, tapi cobalah sekali-kali bertanya kepada anak-anak di sekolah dasar dan menengah, apakah mereka mau jadi petani, saya yakin, hampir semua kepala akan menggeleng sebab pekerjaan itu tidak mentereng. Mereka lebih memilih jadi dokter, insinyur, anggota DPR, pilot, barangkali satu dua ada yang mau jadi presiden. Jadi petani? ha ha ha, ke laut aja. Orang-orang desa cenderung mengagung-agungkan kota dan merendahkan fungsi diri mereka dalam peradaban.

Tapi jangan khawatir karena presiden kita yang baru berkata mau mewujudkan swasembada pangan pada 2017 nanti. Ah, ini kabar baik. Untuk mewujudkan hal itu, maka presiden dan menterinya tak punya pilihan selain membuka lahan pertanian, artinya pertanian akan diutamakan, desa akan diangkat martabatnya.

Tapi saya takut, progam itu membuat pemerintah menjadikan petani sebagai sapi perah seperti pada jaman kolonial Belanda. Mereka buka lahan pertanian besar-besaran tapi tidak menciptakan keadilan. Petani-petani menanam, tapi tidak ikut memanen hasil yang maksimal sebab yang diuntungkan selalu dan pasti tengkulak-tengkulak, pedagang, distributor yang sebagian besar adalah orang kota.

Maka ada yang lebih penting daripada swasembada pangan, yakni keadilan dan kesejahteraan petani. Kalau pemerintah adil terhadap desa, terhadap petani, niscaya, banyak orang memilih jadi petani, dan kalau sudah begitu, tanpa bermaksud memunculkan progam, swasembada pangan akan muncul dengan sendirinya dan harmoni desa dan kota tidak tercetak dalam buku belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline