Lihat ke Halaman Asli

Hey Kembalilah, Aku Butuh Kamu!

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini Naya hanya menghabiskan waktunya dengan duduk-duduk santai di teras depan rumahnya. Kepalanya menengadah, dilihatnya bulan sabit yang terbalut awan hitam malam hari. Sunyi. Terdengar sesekali dia bergumam, gumaman yang mungkin hanya bisa didengarnya. Gumaman pilu tentang apa yang telah menimpa dirinya.

Ingatannya kembali pada kejadian seminggu yang lalu. Ingatan yang membekas sampai ke relung hatinya yang terdalam. Tak pernah dia menyangka bahwa apa yang telah diperbuatnya membuat dia merasa sangat menyesal. Naya benar-benar kesepian malam ini. Berulang kali dia menghembuskan nafasnya berharap setiap beban beratnya bisa sedikit demi sedikit menghilang meski dia tahu bahwa masalah yang terjadi bukan masalah yang akan hilang walau hanya dengan hembusan nafas saja.

Diambilnya gitar akustik yang sedari tadi diam disampingnya, lalu jemari lentiknya mulai memetik senar gitar dan membunyikan beberapa kunci nada dasar, tak karuan, tapi tetap saja menghasilkan sederet not yang dirasanya bisa menghasilkan satu baris nada. Dahinya berkerut, dicobanya lagi nada yang baru saja dia mainkan, lalu dia tersenyum. Ini sih bisa membantu, batinnya.

Satu minggu yang lalu..

“Aku. Nggak. Mau. Temenan. Sama. Kamu. Lagi!!”

Lila tersontak mendengar kata-kata Naya yang nylekit. Dipandangnya wajah sahabatnya, Naya, dengan perasaan yang tak karu-karuan. Ada rasa tak percaya, kecewa dan sedih disana.

“Aku nggak mau denger ocehan kamu lagi! Apa sih istimewanya kamu ?! Kenapa harus kamu, Lil ?! KENAPA HARUS KAMU ?!!” Naya semakin emosi.

Lila ingin menangis tapi ditahannya. Dia hanya diam. Naya yang melihat Lila yang hanya membisu malah tambah kalap, “Aku benci sama kamu! Aku nggak mau ngelihat ka….”

“NAY!! STOP!!” Lila berteriak. Air matanya telah jatuh sekarang, seluruh emosi yang bergemuruh di dadanya mulai bertumpahan saat itu juga.

“Kamu nggak mau temenan sama aku lagi ?! Fine, that’s not hard for me. Tapi suatu saat kamu akan menyesal, Nay! Kamu nggak tahu hal yang sebenarnya! Kamu egois! Bisanya cuman nge-judge tanpa tahu apa-apa!! And from now, Nay, I’M NOT YOUR FRIEND AGAIN!!”  Kata Lila tak kalah ketus.

Naya tak kalah kagetnya mendengar kalimat itu, dia tak percaya kalimat seperti itu bisa juga keluar dari mulut mungil sahabat yang paling dekat dengannya. Hatinya bergetar saat Lila pergi meninggalkannya sendirian di taman sekolah. Seketika itu juga ingin rasanya Naya mengejar Lila dan merangkulnya lalu meminta maaf atas semua perkataan yang telah diucapkannya tadi. Ingin pula rasanya dia memohon kepada Lila untuk menarik kembali kata-katanya namun kenyataannya Naya hanya bisa diam di tempat, dia hanya melihat punggung mungil sahabatnya pergi menjauh sampai tak terlihat. Naya menangis. Sendiri.

………………………………………………………………………….

“WOI!!”  Naya tersontak kaget. Suara Rei, satu-satunya kakak lelaki Naya, berhasil membuyarkan lamunannya.

“Uh! Apaan sih?! Bisa budek tauk!” Naya sewot sembari menepuk-nepuk pelan telinganya.

Sang kakak cuman tertawa geli lalu disandarkannya punggung bidangnya pada tiang teras depan rumahnya. Rei berhadapan dengan Naya sekarang. Naya hanya memandangi kakaknya dengan malas. Terganggu.

“Kamu ngapain ?” Rei mulai bertanya.

“Duduk.” jawab Naya malas. Ngasih pertanyaan kok yang konyol, batin Naya jemu.

“ Sensi bangeet. Lagi mens ya buuk ? Hahahaha…..” tawa Rei semakin menjadi tapi akhirnya berhenti canggung karena mendapatkan tatapan tajam dari adiknya. “Kenapa sih ? Ada masalah ?”

Naya diam lalu menghembuskan nafasnya lagi. Sejenak dia ragu-ragu untuk menjawab, Naya tak terbiasa curhat dengan kakanya. “Iya..” katanya sambil malas.

“Rumit ?”

Naya mengangguk.

“Kok bisa?”

“Karena aku begonya nggak ketulungan makanya jadi rumit.”

Rei tersenyum.

How stupid I am. Bodohnya aku karena membiarkan Lila pergi. Aku baru sadar, nggak ada Lila hidupku sepi. Bukan berarti aku nggak punya teman lain selain Lila, tapi kita udah cukup lama berteman, selalu bersama dan sekarang kami jauh karena kelakuan konyolku. Sekarang aku pengen Lila kembali, bersahabat seperti dulu lagi.”

Kini mata Naya sedikit basah. Rei hanya diam mendengarkan. Jadi ini toh yang menyebabkan hari-hari Naya nggak seceria biasanya. Rei pikir adiknya ini salah makan atau semacamnya, karena sudah seminggu ini Naya nggak ngoceh, nerocos masalah nggak penting yang bisa membuat orang keliyengan mendengarnya soalnya dia sering menggunakan kata-kata kasar juga pedas bak sambel super pedes buatan Bik Minah, pembantunya. Selain itu Naya juga terlihat selalu murung, jarang-jarang dia main gitar seperti saat ini mana ada coret-coretan di kertas pula. Rei memandangi adiknya dengan tatapan sayang.

“Terus udah minta maaf ?”

Naya mengangguk. “Lila cuek, tiga hari yang lalu aku bela-belain datang ke rumahnya, aku menyesal dan minta maaf kepadanya tapi dia nggak pernah nganggep. Songong banget dia waktu itu, pengen aku jambak juga tampar wajahnya! Temennya datang minta maaf kok malah dicuekin. Sakiiiit sekali. Sepertinya dia beneran dengan kata-katanya. Aku.... bukan temannya lagi.

Saat itu aku terlalu emosi Kak, saat aku nggak bisa menerima hasil seleksi buat nentuin pemain inti. Bagaimana mungkin Lila bisa terpilih menjadi pemain inti basket sekolah buat ikutan lomba DBL se-Jawa Bali di Jogja padahal menurutku skill-nya denganku masih bagusan aku. Aku kecewa dengan hasil keputusannya Pak Ratno, kenapa harus Lila ? kenapa bukan aku ?”

Rei diam, dilihatnya Naya yang hanya memandang jauh tak menentu. “Always something, Nay. Pasti ada hikmah di setiap kejadian, yang harus kamu lakukan adalah instropeksi. Sudah bener belum sih kamu itu jadi pemain, jadi sahabat, juga jadi manusia yang baik. Pak Ratno nggak milih kamu juga tanpa alasan dan kamu harus cari tahu itu. Nggak kepilih bukan berarti kamu jelek kan, seharusnya itu bisa kamu gunain sebagai motivasi loh.”

Naya terhenyak, instropeksi ?! Ya, satu kata yang telah dilupakannya selama ini. Naya, dalam hidupnya merasa serba bisa seperti tidak mau membutuhkan bantuan orang lain. Selalu merasa dirinya lebih baik daripada yang lain, berkata tanpa pikir panjang sehingga dia tak tahu apakah perkataannya dapat diterima oleh lawan bicaranya atau tidak. Dalam permainan basket pun sebenarnya Naya layak dipertimbangkan, tapi karena keegoisan dan sifat keindividuannya yang sangat mencolok itulah yang membuatnya tersingkirkan dari seleksi basket sekolahnya.

Naya adalah seorang yang ambisius, ingin selalu tampil baik dan eksis dihadapan teman-temannya tapi dia melakukan satu hal yang bodoh. Meninggalkan teman yang paling dia sayangi. Tak pernah dia menyangka bahwa sekarang dia merasa sangat kesepian seperti ini. Teman-teman yang lain sekarang bersikap aneh dihadapannya dan Naya risih akan kepura-puraan itu.

Terkadang Naya melihat Lila bercengkrama dengan  temannya yang lain. Dia tertawa bahagia disana dan itu adalah hal yang sangat dirindukan oleh Naya. Dia iri melihatnya. “Biasanya kita selalu tertawa bersama, Lil…” gumamnya lirih waktu itu. Sekarang apa yang bisa dilakukan oleh seorang Naya ?

“Udah malem, cepet masuk gih! Aku ke dalam dulu, mau cappuccino ?” tawar kakaknya.

Naya mengangguk.

Kini malam semakin larut, semilir angin malam sedikit memainkan anak rambutnya. Malam yang tak begitu dingin. Sekali lagi Naya mendongakkan kepalanya, melihat bulan sabit yang sedikit bergeser dari posisi awal saat Naya pertama melihatnya. Kali ini dia tersenyum… manis sekali.

Waktu memang terus berjalan, seperti saat ini. Tak mungkin Naya hanya diam melihat sahabatnya semakin menjauh. Sekarang dia tahu kesalahannya dan bertekad  untuk sedikit demi sedikit merubah sikap buruknya. Always something, huh? Selalu ada sesuatu dalam kehidupan, bukan ? Dan terkadang kita memang butuh lecutan untuk itu. Untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Tuhan memang baik.

Naya menghembuskan kembali nafasnya. Bukan nafas berat seperti biasanya tapi nafas ringan dan ceria dari seorang Naya. Kali ini Naya mendapatkan kembali rasa percaya dirinya. Dia yakin kali ini Lila pasti luluh dan akan memaafkannya. Semua akan kembali seperti dulu lagi, semua akan baik-baik saja.

Diambilnya gitar yang tadi sempat disandarkan saat berbicara dengan kakaknya, Rei. Kemudian dia membolak-balikkan kertas yang tadi juga digunakannya untuk menulis not-not lagu dan lirik ciptaannya. Sebelumnya Naya celingukan mencari batu kecil untuk menindih kertasnya agar tidak terbang saat tertiup semilir angin malam.

Kini gitar sudah ditangannya, kertas coretan yang berisi curahan hati-nada lagu juga sudah siap untuk dibaca. Naya mencari posisi duduk yang pas agar nyaman saat dia memainkan lagunya. Jemari lentiknya kini menari-nari indah memainkan nada intro dari lagunya. Naya bernyanyi dan terlihat sangat menikmati permainannya, perasaanya yang menjadi ringan tersampaikan pada lirik dan musiknya.

Kemana saja kau pergi, kau meninggalkanku

Dimana kau yang lama hilang entah kemana

Mana janjimu waktu dulu, untuk bersahabat selamanya

Kini kau pergi saja.. mendapatkan teman..

Hey kembalilah, aku membutuhkanmu..

Yang membuatku tenang tempatku untuk bersandar

Dimana kau yang lama, aku membutuhkanmu..

Yang membuatku tenang tempatku untuk bersandar……*)

……………………………………………………………………….

Dalam waktu yang sama di tempat yang berbeda terlihat tubuh mungil yang juga mendongakkan kepalanya ke langit. Dia juga menikmati bulan sabit yang memang indah malam ini. Angin semilir juga menerpa tubuh mungilnya. Sesekali dia melihat foto dalam pigura kecil yang dibawanya, sesaat dia tersenyum memandang gambar dua gadis yang tertawa bersama disana.

“Hey, aku sangat merindukanmu… Nay..” ujarnya pelan.

*) Lirik lagu dari ‘My birdhouse’ dengan judul yang sama. Penulis terinspirasi dari lagu ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline