Lihat ke Halaman Asli

Mataharitimoer (MT)

Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

Sumpek! Enakan di Malaysia

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tugino dan Tuginem adalah potret suami-istri (rakyat Indonesia) yang miskin. Mereka tinggal di sebuah kontrakan satu kamar. Sang suami kerjanya morat-marit. Pernah jadi Satpam, Kondektur, Supir Angkot, dan kini kerja serabutan. Jika ada tetangga yang mau renovasi rumah, Tugino siap dibayar. [caption id="attachment_233438" align="alignleft" width="300" caption="pict : http://ard1z.files.wordpress.com"][/caption] Tuginem baru pulang dari Malaysia. Ia termasuk tenaga kerja ilegal yang dipulangkan pemerintah Malaysia. Sebenarnya hatinya kesal sekali,  sebab belum 6 bulan ia merasakan hidup di luar negeri. Sebuah kehidupan yang jauh berbeda dengan kampungnya. Kehidupan yang menurutnya lebih baik, lebih layak, dan lebih menjanjikan. Walaupun ia hanya sekedar bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tapi gajinya lumayan besar. Perbandingannya, satu bulan gaji di sini adalah empat atau lima bulan gaji di kampungnya. Tuginem baru saja mau berubah dari orang kampung yang ngomongnya medhok, jadi orang metropolis yang kadang-kadang english speaking. Beberapa kali suaminya bingung mendengarkan dia cerita melalui telepon. Logatnya sudah seperti orang-orang melayu campur bule. Suaminya, Tugino, hanya mengangguk-angguk saja ketika Tuginem menanyakan kabar anak-anaknya yang ditinggalkan bersama suaminya. Tugino sesekali menyela, "kamu ngomong apa sih? Aku ndak ngerti maksute!" Tuginem juga tak mengerti lagi bahasa Tugino, hingga ia menutup telepon karena takut pulsanya bengkak. Tugino kembali ke kontrakan satu kamar, melanjutkan masak dan cuci pakaian anak-anaknya yang super aktif. Sehari, tiga orang anaknya, yang bungsu berumur 2 tahun kurang, yang tengah 6 tahun, sedangkan yang sulung baru 8 tahun, bisa gonta-ganti pakaian lebih dari tiga kali. Mereka senang sekali main di sawah, di pinggir kali, atau di TPA. TPA bukannya Taman Pengajian Al-Qur'an, tapi Tempat Pembuangan Akhir sampah dari Ibukota Negara, Jakarta. Lumayan, kalo main di TPA, bisa menemukan mainan rombeng. Karena bapaknya jelas tak mampu membelikan mainan. Tugino hanya kuli yang bekerja kalau ada tetangga yang mau renovasi rumah. Tapi sejak krisis moneter hingga krisis budaya saat ini, jarang sekali ada orang yang renovasi rumah. Paling banter, Tugino hanya membetulkan Pos Ronda atau Warung-warung kecil di pinggir jalan. Sebenarnya waktu sebelum berangkat, Tugino tak menyetujui rencana Tuginem untuk mengadu nasib di Malaysia. Ia lebih suka istrinya tinggal di rumah mengasuh anak-anaknya. Apalagi si bungsu masih terlalu kecil untuk ditinggalkan. Tapi karena sudah tergiur oleh cerita indah dari calo agen pengiriman TKI tentang perubahan nasib setelah ke luar negeri, Tuginem minta suaminya mengerti kalau ia ingin mengubah nasih keluarga. Ia tak mau berlama-lama tinggal di kontrakan satu kamar seperti bertahun-tahun yang telah ia jalani. Ia ingin punya rumah sendiri, ingin anak-anaknya bisa tampil necis seperti anak-anak tetangga lainnya. Tugino maunya melarang, tapi setelah Tuginem bilang sang suami tak bisa diharapkan untuk mengubah nasib, akhirnya ia mengalah untuk membiarkan istrinya pergi, sambil ngomong, "terserah!" Kini Tuginem sudah berkumpul kembali bersama keluarganya. Ia kembali ke rumah kontrakan satu kamar. Tugino senang karena istrinya kembali. Ia punya harapan kalau kini anak-anaknya ada yang mengasuh lagi dan dia bisa kembali bekerja keras mencari selembar uang atau paling sial, sebungkus mie instant . Anak-anaknyapun kembali ceria. Si sulung tak mau lepas dari pelukan ibunya. Si tengah menggelendoti punggung ibunya, sedangkan si kecil berdiri di samping bapaknya melongo melihat tingkah kakak-kakaknya. Tuginem duduk melonjor di tikar, menyandarkan punggungnya ke tas koper bawaannya, melepas lelah. Tugino duduk di depannya, mendengarkan istrinya bercerita tentang segala kehidupan di Negeri Tetangga. Tuginem bercerita tentang apartemen tempat dia tinggal bersama beberapa teman sekariernya, tentang makanan favorit barunya, tentang acara TV yang tak pernah ditontonnya di Indonesia, tentang tempat-tempat hiburan, pusat perbelanjaan, dan segala hal yang bagus-bagus yang tidak pernah dirasakan suami dan anak-anaknya. "Bet naw, ai muleh egen di mari. Ta' de semenet, ai sudah sumpek!" tutur Tuginem mengakhiri ceritanya. Tugino sebenarnya kesal melihat istrinya bicara dengan bahasa campur aduk yang ia tak mengerti. Sepertinya yang dihadapannya bukan istrinya yang dulu. Padahal kurang dari 6 bulan ia tak melihat istrinya, tapi sudah banyak berubah. Yang bikin Tugino rada kesal, adalah kata terakhirnya itu, "Sumpek!". Padahal sebelum pergi ke luar negeri, keadaan di kamar ini lebih sumpek dari sekarang. Maklum, Tugino lebih rajin berbenah ketimbang istrinya. Tapi, tak apalah, siapapun istrinya sekarang ini, yang penting Tugino sudah tak lagi "Puasa" berbulan-bulan. Lepas dari situasi memanas antara rakyat Indonesia yang kesal dengan tingkah polah pemerintah Malaysia, bagi Tuginem, bekerja di Malaysia adalah impiannya. Seperti rakyat Indonesia lainnya, ia melihat banyak peluang perubahan nasib di negeri orang ketimbang di negerinya sendiri. Meskipun banyak kasus penyiksaan TKI, tetap saja keinginan Tuginem ke Malaysia tak berkurang. Baru saja pulang, ia tetap ingin kembali ke sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline