Lihat ke Halaman Asli

Mataharitimoer (MT)

Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

Membangun Rumah dengan Kata-kata

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Paling telat jam 21.00 saya sampai" tulisku, menjawab sms Gola Gong, pendiri Rumah Dunia. SMS itu kukirim pukul 20.42 sambil menikmati nasi goreng spesial (tanpa ayam) bersama Raditha Bima, seorang sahabat yang setia menemani selama aku berada di Serang. Selesai makan, kami langsung meluncur menuju Rumah Dunia. Pas pukul 20:59, aku sampai. Gola Gong menerimaku dengan memanggil sahabat lainnya, "Firman, Roni, ada Matahari!" lantas mereka yang ada di ruang perpustakaan Rumah Dunia itu bergegas menyambut kami berdua. Bangku plastik diangkat dan diposisikan tepat di bawah pohon besar yang rindang. Pohon ini masih lekat di pikiranku. Setiap berkunjung ke sini, di bawah pohon inilah aku duduk, ngobrol, dan membaca energi positif di area kebun 1000 meter persegi yang telah diubah oleh Gola Gong menjadi sebuah Learning Center, bernama Rumah Dunia. Kuperhatikan perpustakaan anak dan remaja (pelajar/mahasiswa), plaza, mushola, toilet, ruang bermain, toko buku, dan yang paling utama adalah sebuah panggung pertunjukkan. Di panggung itulah kegiatan anak-anak RD berpusat. Bahkan backdrop acara Puisi Wong Cilik, 14 Februari 2010 yang baru beberapa hari lewat, masih menggantung mengindahkan latar panggung tersebut. "Apa yang bisa kami bantu, mas Mataharitimoer?" Tanya mas Gong. "Aku ke sini hanya menepati janji pada diri sendiri. sudah dua kali, sebelum ini aku main ke sini, dan aku pernah berencana akan ke sini lagi jika berhasil menerbitkan buku Guru Kehidupan. Dan malam inilah aku menyempatkan diri. Aku ingin mendapatkan spirit dari sini." jawabku apa adanya. Rumah Dunia adalah mimpi Gola Gong. Sejak kecil ia bermimpi memiliki perpustakaan pribadi yang diperuntukan bagi masyarakat umum (anak-anak, remaja-pelajar dan mahasiswa). Berawal dari kondisi di Banten, yang selain iklim membaca dan mengkajinya kurang, juga sarana dan prasarana perpustakaan yang minim. Beliau berpikir, rasanya untuk mengubah Banten sangatlah tidak mungkin. Lantas bersama sahabat setia, iapun bersiasat, yaitu bermula dari rumah dan menularkannya ke lingkungan tempatnya tinggal, di Komplek Hegar Alam, Ciloang, Serang, Banten. Satu harapan, yang bisa dibilang sebagai visi dan misi Rumah Dunia adalah tumbuhnya sebuah geneasi baru yang mempunyai kapasitas tinggi dan hati nurani ketika bersinggungan dengan masyarakat luas. Rumah Dunia berfungsi sebagai learning center atau kawah candradimuka, sebagai tempat penggodokan bagi peningkatan kualitas sumber daya anak-anak dan remaja, sebagai generasi penerus di Banten khususnya, dan Indonesia umumnya. Dan kehadiranku di sini, hanya ingin menyerap spirit dari kebersahajaan orang-orang yang berhati mulia di sini. Setelah bersapa dan bercengkrama, aku dan Bima pamit. Malam ini aku harus menuntaskan materi pelatihan untuk esok pagi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Rumah Dunia kutinggalkan. Mas Gong, Roni, Firman, dan semua yang menyambutku, pada saatnya melepasku. Kusimpan spirit yang kuserap sebagai energi untuk melanjutkan peranku di dunia. Peranku sebagai peramu kata, sebagai tamu Rumah Dunia, yang dibangun dengan kata-kata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline