Lihat ke Halaman Asli

Mataharitimoer (MT)

Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

Parno : Pelarian untuk Kembali Pulang

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Nggak enak, kalau sampai orang tua tahu, kami hidup seperti ini. Apalagi kalau mertuaku tahu anaknya melarat bersamaku"

- Parno, Pengamen, Labuan - [caption id="attachment_29142" align="alignleft" width="190" caption="mas Par dan istrinya"][/caption] Banyak orang yang merasa bangga jika bertemu dengan orang-orang terkenal. Baik dari kalangan artis, politikus, apalagi birokrat. Seakan-akan pertemuannya itu dapat mengubah nasibnya. Seakan-akan orang terkenal itu bagai dewa yang selalu disanjung kata. Jarang sekali, kita merasa bangga ketika bertemu dengan seorang gelandangan yang survive dengan memulung sampah, seorang ibu tua renta penjual pecel yang keliling dari kampung ke kampung demi menghidupi anak cucunya, seorang petani miskin yang tetap bertenaga walau kekurangan stock beras di dapurnya, termasuk bertemu sepasang pengamen karaoke keliling yang mencari nafkah untuk memenuhi kehidupannya. "Sudah lama menikah?" Tanyaku kepada suaminya. "Setahun lebih." Jawabnya "Sudah lama mengamen bersama?" "Kira-kira 4 bulan, terpaksa, mas. Habis kena PHK. Cari kerja lagi susah. Ijasah SMP sudah tak laku. Jadinya begini, deh." Ternyata sebelumnya ia tinggal di Tangerang sebagai buruh pabrik. "Kenapa berdua? Bukannya lebih enak kalau si mbak, menunggu saja di rumah?" saranku. "Ehm...." Mereka tersenyum "Menunggu dimana, mas? Lha wong kita sudah nggak sanggup bayar kontrakan. Jadi sekarang, kita tinggal dimana saja. Yang penting tetap bersama-sama." Ia mencurahkan kisahnya, tapi tanpa ekspresi sedih. Ia tersenyum ketika bercerita. Bathinku tersayat mendengar penjelasannya barusan. Walaupun nasib mereka begitu tragis, tapi mereka tetap bisa bercerita dengan senyuman. Itu yang membuatku semakin kecil dibandingkan mereka. Jarang sekali kita membanggakan kaum lemah yang sebenarnya punya daya hidup yang sangat hebat dan patut diambil hikmahnya. "Memang mas dan mbak, aslinya dari mana?" "Cirebon!" Jawab sang suami. Sang istri lebih sering menundukkan kepala. Mungkin ia malu melihatku banyak ingin tahu. "Keluarga di kampung semua?" "Ada juga yang di Jakarta... eh... Bekasi deh?" ia meralat ucapannya lalu tertawa. "Mereka tahu kalau kalian hidup seperti ini?" "Nggak!" "Andai mereka tahu, bagaimana?" desakku "Mudah-mudahan nggak ada yang tahu. Nggak enak, kalau sampai orang tua tahu, kami hidup seperti ini. Apalagi kalau mertuaku tahu anaknya melarat bersamaku." "Memang mba merasa melarat menjadi istri mas Parno?" aku mencoba menyapa istrinya yang pemalu. Ia menjawabnya dengan menggelengkan kepala. Entah, apakah pertanda ia tidak merasa melarat, atau pertanda ia tak mau menjawab pertanyaanku. "Tapi, bisa saja keluarga ada yang tahu, mas. Kan kadang-kadang kita suka ketemu sama teman sekampung?" "Mudah-mudahan nggak, lah. Nanti saja kalau saya sudah tidak seperti ini, baru ketemu..." harapannya. "Jadi nggak selamanya akan mengamen begini, ya mas?" "Nggak lah! Kasihan dia" ia mengelus rambut istrinya yang semakin merunduk malu. "Kapan rencana mas akan mengakhiri karier seperti ini?" ia tertawa mendengar pertanyaanku barusan. Ia tak sepakat kalau aku menyebut ini sebagai karier. Ia lebih suka dianggap sebagai pelarian sementara. "Pokoknya, sebelum lebaran nanti, saya sudah tak mau begini lagi. Kan kami harus pulang kampung." Ia menjelaskan pula bahwa yang dilakukan ini hanyalah usahanya untuk mengumpulkan ongkos dan sedikit oleh-oleh buat keluarga di kampung. "Setelah itu mau kembali lagi ke Jakarta?" "Kayaknya nggak deh, mas. Kita sudah sepakat, mau tinggal di kampung saja. Saya bisa jadi kuli atau apa saja lah. Yang penting istri bisa senang." Jawaban seorang suami yang jantan menurutku. "Apa terkejar buat ongkos dan oleh-oleh?" tanyaku. "Dijalani saja mas. Saya nggak bisa ngira-ngira. Pokoknya kita harus pulang!" tekadnya kuat. Ternyata mengamen bukanlah pekerjaan mas Parno. Hanya pelarian agar bisa mengumpulkan uang untuk kembali pulang. Hal ini ia lakukan agar keluarga di kampung tidak merasakan kemelaratannya. Bagi orang lain bisa jadi, mas Parno dianggap sedang menipu keluarganya. Tapi kalau kita mau meresapi niat baiknya, insya Allah kita akan menilai mas Parno sebagai seorang suami yang tetap mempertanggungjawabkan cintanya kepada sang istri. Sebagai anak, ia adalah anak yang tak mau orang tuanya merana jika mengetahui nasib anaknya yang nelangsa. (MT)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline