Lihat ke Halaman Asli

Mataharitimoer (MT)

Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

Biarkan Baduy Bicara : Calintu

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_22007" align="alignleft" width="201" caption="lumbung padi masyarakat baduy"][/caption]

Di tengah perjalanan aku mendengar nada yang indah sekali. Kurasakan seperti suara instrument yang biasa kudengar ketika menonton film tentang Tibet. "Nguuu.......ng....." Nada itu berbunyi panjang dan berulang-ulang. Aku mencari dimana sumber suara indah itu.

Ayah Aja menunjuk ke sebuah bambu yang dipasang di atas pohon. Bambu itu masih utuh dari pangkal hingga ujungnya yang meruncing. Di setiap ruas, ada lubang yang dibuat berukuran sama. Ketika angin berhembus ke arah bambu itu, terciptalah suara ataupun nada indah yang tadi kudengar. "Itu yang disebut Calintu, seperti yang tadi dijelaskan oleh Ayah Mursyid", Ipul mengingatkanku. Hm... akhirnya kunikmati juga musik khas Baduy Dalam yang ketika Ayah Mursyid menjelaskan, belum kubayangkan bagaimana suara nadanya.

Calintu adalah salah satu alat musik khas Baduy Dalam, selain angklung, Kendo, dan Suling. Calintu diciptakan untuk dipasang di sawah. Tujuannya adalah untuk menghibur padi yang baru ditanam hingga menjelang panen. Betapa hormatnya warga Baduy Dalam terhadap padi. Bahkan, padi dihibur sejak masih menjadi benih. Keseluruhan ritual tentang padi terdapat pada ritual "Ngaseuk". Ritual ini merupakan rangkaian adat untuk menghormati (ngareremokeun) Dewi Sri.

Ketika hendak memulai musim tanam, masyarakat Baduy Dalam melakukan ritual khusus. Bahkan sebelumnya, sang pemimpin adat bertapa dan berpuasa antara 3 hingga 7 hari. Setelah sang pemimpin selesai berdoa, benih yang akan ditanam dihibur dengan musik angklung dan rangkaian pantun. Mereka percaya bahwa hal itu merupakan permintaan Dewi Sri agar benih dapat tumbuh menjadi padi yang baik dan tahan lama saat disimpan di lumbung padi khas Baduy. Inilah rahasia tentang awetnya padi di lumbung Baduy.

Seperti yang kudengar dari dialog dengan Ayah Mursyid, bagi orang Baduy Dalam, mengolah bumipun ada aturannya. Tidak asal. Seperti setelah selesai ritual menyiapkan benih, proses penanaman berlangsung dalam tiga tahapan. Pertama adalah "nyacar", yaitu bersih-bersih area sekitar ladang. Sekaligus memohon doa restu dari sang Maha Pencipta agar lahan yang disediakan merupakan tempat yang tepat bagi benih padi yang akan ditanam. Selanjutnya adalah "ngahuru" atau membakar rumput dan semak belukar hasil nyacar. Terakhir adalah "Ngaseuk" yaitu menaman. Kaum lelaki bertugas membuat lubang dengan bambu runcing, sedangkan kaum perempuan menanam benih pada lubang yang sudah dibuat oleh pasangannya. Inilah potret kerjasama suami-istri yang begitu indah. Bahkan dalam hal bekerja di ladangpun, mereka begitu harmonis dan saling membantu.

Mulai dari benih bahkan hingga beras hasil panen mau dimakan pertama kali, buat orang Baduy Dalam ada aturannya, ada ritualnya. Jika kita mau mengatur kehidupan, kitapun harus bersedia di atur oleh kehidupan itu sendiri.

Calintu yang dipasang di atas ladang biasanya akan rusak sendiri hingga musim panen tiba. Sayang sekali kami tidak berhak memotret, karena masih berada dalam wilayah terlarang untuk memotret. Andai pemandangan ini ada di Baduy Luar, pasti sudah dijepret oleh Tatox yang berkali-kali mengurut dada karena menahan nafsu seorang fotografer.

Catatan Selanjutnya : Bocah Kecil Pencari Air




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline