Lihat ke Halaman Asli

Mataharitimoer (MT)

Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

Biarkan Baduy Bicara : Ayah Mursyid

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_21999" align="alignleft" width="226" caption="ayah mursyid, wakil jaro tangtu"][/caption] Dibantu oleh salah seorang warga Cibeo, aku berjalan menelusuri ruang di antara beberapa rumah untuk menemui Ayah Mursyid. Di belakangku, ada Ipul, Pacheko, dan Iwan, yang mengikutiku. Aku mengingatkan Ipul tentang surat dari pak Asep untuk Ayah Mursyid yang dititipkan padanya. Ia menunjukkan surat itu. Pagi tadi, sebelum kami meninggalkan Ciboleger menuju Cibeo, Pak Asep menitipkan surat untuk diberikan kepada sahabatnya, Ayah Mursyid. Aku tak pernah membaca surat tersebut. Tapi yang pasti, menurut Ipul, surat itu mungkin berisi penjelasan pak Asep tentang siapa kami, dan untuk apa kedatangan kami ke sini. Dengan surat ini, insya Allah Ayah Mursyid tak bertanya-tanya lagi tentang kami. Dalam hati, aku berterima kasih kepada pak Asep yang sangat peduli dengan kepentinganku menemui Ayah Mursyid. Ia telah membukakan jalan untuk memudahkanku berdialog dengan Ayah Mursyid. Sampai di depan rumah Wakil Jaro Tangtu Tujuh, Ayah Mursyid. Kami dipersilahkan masuk. Kulihat Ayah Mursyid sedang duduk bersila menerima dua orang tamu. Tapi kami tetap dipersilahkan duduk di hadapannya. Tatapannya amat bersahabat. Seolah-olah sudah pernah bertemu. Aku duduk di sebelah Ipul yang memberikan surat kepada Ayah Mursyid. Ia mulai membuka lipatan kertas itu dan membacanya. Sambil membaca, sesekali ia memperhatikanku. Kurasakan tatapannya kini seperti bukan sekedar memperhatikan fisikku. Mungkin lebih dalam lagi, memahami sisi non-fisik dariku. Ia tersenyum kepada dua orang tamu yang lebih dahulu datang. Lantas kedua tamu itu pamit pulang. Ipul memulai pembicaraan dengan memperkenalkanku kepada Ayah Mursyid. Orang di hadapanku ini mengangguk-angguk dan memberikan kesempatan untukku bicara ataupun bertanya. Yang kurasakan sekarang adalah bingung mau ngomong apa. Melihat sosoknya, sepertinya aku sudah merasa cukup puas. Sosok yang masih muda, berkulit bersih, kumis tipis, dan janggut rapih, memancarkan kharisma tersendiri. Baru kali ini aku merasakan grogi berhadapan dengan orang yang amat sederhana. Pakaian yang dikenakannya sama dengan yang dikenakan semua laki-laki yang ada di Cibeo ini. Tidak ada perbedaan, walaupun ia memiliki kedudukan yang terhormat. Ah, mau bicara apa aku ini... Ayah Mursyid membantuku dengan menanyakan lebih detil tentang diriku. Aku menjawab apa adanya. Dan dari situ, akhirnya aku merasakan suasana menjadi lebih akrab. Kami berbincang ringan. Tak ada lagi perasaan grogi, justru sebaliknya aku jadi ingin terus bertanya segala hal tentang Baduy Dalam. Satu hal yang kutanyakan adalah tentang filosofi rumah Baduy Dalam yang hanya memiliki satu pintu. Ayah Mursyid menjelaskan bahwa, rumah satu pintu mengandung prinsip hidup dan prinsip dalam berkeluarga. Satu pintu berarti hanya ada satu istri bagi satu suami. Keduanya terikat dalam satu hati, satu tujuan, satu adat, satu prinsip menuju masa depan. Tak boleh ada perceraian dalam hubungan suami-istri, kecuali kematian. Warga Baduy Dalam tak mengenal dan tak menoleransi perselingkuhan. Hal itu merupakan kesalahan fatal yang bisa menyebabkan pelakunya harus keluar dari Baduy Dalam. Karena prinsip satu pintu itulah, semua keluarga Baduy Dalam, dari zaman ke zaman selalu harmonis, tak ada yang bercerai. Mereka setia sampai mati. Menjadi suami adalah kehormatan bagi laki-laki Baduy Dalam. Menjadi Istri adalah kehormatan bagi perempuannya. Mereka selalu bersatu hati untuk menjaga kehormatan masing-masing. Suami dan Istri dipersatukan dengan tali pernikahan. Biasanya pernikahan ditentukan oleh orang tua masing-masing. Masyarakat Baduy Dalam tidak mengenal pacaran. Ketika seorang lelaki Baduy Dalam dianggap dewasa (baligh) orang tuanya segera menikahkannya dengan perempuan sesama warga Baduy Dalam. Merekapun tidak mengenal pernikahan dengan orang di luar masyarakat Baduy. Ini merupakan adat yang tetap dijaga demi kemurnian keturunan Baduy. Aku berpikir, berarti tidak akan pernah ada istilah blasteran bagi masyarakat Baduy Dalam. Bagi pasangan yang baru menikah, biasanya diberikan lahan untuk menempati rumah. Dan untuk membangun rumah tidak sulit, karena semua tetangga akan membantu membangunnya. Dan rumahnya pasti sama dengan ciri khas rumah Baduy Dalam. Berbeda dengan rumah Baduy Dalam, rumah Baduy Luar memiliki dua pintu. Warga Baduy Luar memungkinkan untuk terjadinya perceraian namun tetap memiliki satu istri. Baik Baduy Luar maupun Dalam, tidak mengenal poligami. Ini merupakan warisan adat turun temurun, dari abad ke abad, yang terjaga hingga sekarang, dan terus dijaga hingga akhir kehidupan. Satu hal yang juga aku tanyakan, adalah anggapan bahwa orang Baduy Luar adalah orang Baduy Dalam yang terkena hukuman. Mereka dilarang tinggal di Baduy Dalam karena telah melakukan kesalahan terhadap adat leluhur. Anggapan itu kudapatkan dari beberapa informasi yang ada di internet. Ayah Mursyid menyatakan bahwa pendapat itu adalah kesalahan fatal. Ia menyayangkan sikap orang luar Baduy yang mempublikasikan informasi yang salah tentang adat Baduy. Ia lalu menjelaskan tentang struktur masyarakat adat Baduy. Ada Baduy Dalam, Baduy Luar, dan Luar Baduy. Ketiga perbedaan struktur masyarakat itu bukan dilatarbelakangi oleh adanya kesalahan terhadap adat Baduy. Itu merupakan cara mereka untuk melindungi ajaran dan warisan adat para leluhur Baduy. Masyarakat Luar Baduy mengamankan masyarakat Baduy Luar. Masyarakat Baduy Luar melindungi masyarakat Baduy Dalam. Sedangkan Baduy Dalam menaungi mereka (Baduy Luar dan Luar Baduy) dengan ajaran dan adat istiadat leluhur. Tak terasa, waktu semakin siang. Padahal aku belum mau beranjak dari Ayah Mursyid yang ternyata lahir pada tahun 1970. Hanya terpaut satu tahun denganku. Ia lebih tua setahun daripadaku. Tapi pikiran dan sikapnya melebihi usianya. Ia dipanggil Ayah Mursyid karena anaknya bernama Mursyid. Sedangkan nama aslinya adalah Alim. Begitulah kebiasaan orang Baduy Dalam, memanggil seorang lelaki yang sudah menikah dengan menyebut nama anaknya yang paling tua. Ayah Mursyid juga menjelaskan sekilas tentang pemimpin adat Baduy. Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Baduy adalah "Puun". Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Puun tidak ditentukan. Pemilihan seseorang menjadi Puun maupun Jaro ditentukan berdasarkan tiga hal, yaitu kapasitas dan kapabilitas, keturunan Puun, dan wangsit. Begitupun dengan pemilihan Ayah Mursyid sebagai Wakil Jaro Tangtu yang bertanggungjawab pada pelaksanaan hukum adat dan berhubungan dengan dunia luar, tak lepas dari ketiga syarat tersebut. Beliau dinilai memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memimpin dan mewakili Baduy Dalam dalam menghadapi tantangan zaman. Ayah Mursyid adalah anak dari almarhum Puun Jandol, pemimpin adat tertinggi suku Baduy Dalam di Cibeo (Kini Cibeo dipimpin oleh Puun Jahadi). Syarat ketiga, adalah wangsit. Ini yang paling penting namun sulit untuk diterima logika. Namun demikian, syarat ketiga ini paling menentukan. Ada sedikit kepuasan dalam hatiku setelah mengenal Ayah Mursyid. Kekhawatiranku tentang kepunahan Budaya Baduy seakan sirna setelah mendalami pemikirannya. Aku sempat berdialog tentang bangsa Tibet yang kebudayaannya nyaris punah dalam jajahan China. Menanggapi masalah ini, Ayah Mursyid menyatakan, "Di Indonesia banyak adat dan budaya. Namun kebanyakan saat ini sudah punah karena tekanan budaya global. Kami - Suku Baduy - masih tetap bertahan. Selama kita kuat dan bersatu dalam memegang adat, maka kita tak akan pernah kalah!" Bisa jadi orang-orang di luar Baduy menilai suku ini sangat terbelakang, kuno, dan bahkan primitif. Tapi jika mau melihat dari dekat, penilaian itu akan berubah. Mereka bukanlah orang-orang yang kuno, terbelakang, apalagi primitif. Mereka adalah orang-orang yang kuat dalam memegang teguh prinsip hidupnya, komitmen dengan adat leluhurnya. Banyak yang ingin kuutarakan, namun teman-temanku sudah mengisyaratkan untuk pulang. Mereka khawatir kami kemalaman. Bagi orang yang belum menguasai medan, akan sangat berbahaya bila melakukan perjalanan malam hari menapaki tanah Baduy ini. Akupun pamit. Di akhir pertemuan ini, Ayah Mursyid mempersilahkan jika suatu hari aku datang lagi, boleh menginap di rumahnya agar bisa bercengkrama lebih leluasa. Kutinggalkan rumah Ayah Mursyid, dengan membawa sebotol Madu Odeng sebagai cinderamata. Aku akan membalas jamuannya suatu saat nanti semampuku. Mungkin catatan perjalananku. Mungkin juga buku, karena ternyata, Ayah Mursyid gemar membaca buku. Bahkan iapun mengerti bagaimana mencari informasi via internet. Hal itu ia lakukan di luar, yaitu di Ciboleger, rumah Pak Asep/Bidan Ros.

Catatan Selanjutnya : Makan Bersama




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline