[caption id="attachment_21987" align="alignleft" width="300" caption="MT and the flower @ baduy"][/caption] Dalam perjalanan, kami menemukan beberapa pengalaman yang memberikan ajaran moral. Ketika ada sekelompok perempuan Baduy yang sedang menumbuk padi bersama-sama, aku memintakan ijin untuk memotretnya. Walau sebenarnya sudah akrab, tapi ia tetap tegas menyatakan "Teu meunang!" alias tidak boleh! Aku menanyakan alasannya, ia hanya menyatakan "mereka tidak mau". Memang saat kami memperhatikan mereka, sekelompok perempuan itu bukannya memandang kami, tapi malah memandang ke Ayah Aja. Mungkin itu isyarat kalau mereka tak bersedia dipotret. Dan Ayah Aja tegas melarang kami memotretnya walau kami belum memasuki area terlarang untuk memotret. Ada seekor kalajengking hitam yang cukup besar di tengah jalan. Teman-temanku mengatur langkah agar tak menginjaknya. Salah seorang menyatakan, "matikan saja, bahaya!" tapi sekali lagi Ayah Aja melarang sambil tersenyum, "Teu meunang!" Ia menjelaskan padaku, biarkan saja kalajengking itu hidup. Kita tidak punya hak untuk mematikan ciptaan Yang Maha Pencipta. Biarkan kalajengking itu menjalankan hidupnya sebagai kalajengking. Kamipun hanya memperhatikan saat kalajengking itu menjauhi jalur lintasan kami. "Kalau kita singkirkan tanpa membunuhnya, boleh?" tanyaku. Ia tersenyum dan kupahami jawabannya, "kita tak tahu ia mau kemana. Jangan menjauhkannya dari tujuannya." [caption id="attachment_21988" align="alignleft" width="300" caption="jalur melintasi jurang berpadi"][/caption] Di jalur yang licin di tepi jurang, aku berhenti sebentar untuk memotret keindahan alam. Terutama ngarai dan bukit-bukit di kejauhan. Saking asyik, tak sadar kakiku terlalu ke pinggir dan nyaris menginjak sebuah tanaman padi. Tanah di sekitar padi itu anjlok dan membuat tanaman yang masih setinggi 15 cm itu miring. Ayah Aja jongkok dan memperbaiki kondisi tanah tersebut dan menegakkan kembali padi yang tadi miring. Aku merasa bersalah dan minta maaf. Ia tersenyum dan berkata, "tidak apa-apa, kamu tidak sengaja". Kurasakan bijaksana sekali orang tua ini. Ketika Hali dua kali jatuh, aku menyarankan agar ia mencari batang kayu untuk dijadikan tongkat. Salah seorang temanku menunjuk ke sebuah pohon yang batangnya cukup untuk dijadikan tongkat. Tapi Ayah Aja cepat menyelinap agak ke dalam hutan, dan menemukan batang pohon yang sudah patah. Ia membuatkan tongkat untuk Hali. Begitulah kearifan Ayah Aja yang mungkin mewakili orang-orang Baduy Dalam. Ia lebih memilih batang pohon yang sudah patah daripada menebang pohon yang masih utuh. Ia tak asal menebang untuk sekedar memenuhi kebutuhan. [caption id="attachment_21990" align="alignleft" width="300" caption="biru, hijau, coklat, di tanah baduy"][/caption] Kami sampai di bukit ke enam. Pemandangan semakin indah untuk diabadikan. Aku dan Tatox bergantian memotret keindahan alam di sekitar sini. Juga memotret teman-teman yang sudah siap dengan pose narsisnya. Saat itu Ayah Aja masih di belakang kami. Ia memang berganti-ganti posisi. Kadang di depan, kadang ke belakang. Saat ia melihat kami sedang memotret, ia kembali menyatakan "Teu meunang!". Ternyata kami sudah memasuki wilayah terlarang untuk memotret. Tatox menuruti rekomendasi Ayah Aja dan langsung menyimpan kameranya dalam tas, diresleting, dan dikunci slot, agar tidak tergoda untuk memotret kembali. Padahal kawasan ini lebih indah dibanding yang sudah kami lewati sepanjang perjalanan kami. Tapi apa boleh buat, kami harus belajar menghormati adat setempat. Kami harus belajar jujur untuk tidak menuruti nafsu dan naluri fotografer amatiran. Kami lanjutkan perjalanan menuju satu bukit lagi. Inilah bukit yang paling tinggi di antara enam bukit yang sudah kami lintasi. Menurut informasi, tingginya lebih dari 600 meter dari permukaan laut. Track makin berat, namun pemandangan makin indah. Tetapi kami masih harus belajar mengendalikan nafsu dari berbuat curang. Kami belajar menghormati adat dan budaya Baduy demi menjaga kehormatan diri kami sendiri.
Catatan Selanjutnya : Memasuki Cibeo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H