Lihat ke Halaman Asli

Mataharitimoer (MT)

Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

Ekspedisi Walisongo : Darah Ningrat, Jiwa Rakyat

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Makam Sunan Drajat | Lamongan, Jawa Timur Indahnya pantai di sebelah kiriku dan hijaunya perbukitan di sebelah kananku, mencipta perjalanan di pagi yang sejuk. Sebuah perjalanan panjang yang kami lakukan sejak senja 25 Mei 2009 dari Bogor, hingga kini 27 Mei 2009 pukul 05.30 WIB kami tiba di Lamongan. Makam Syech Qasim bin Ali Rahmatullah, yang dijuluki Sunan Drajat. Makam ini merupakan sebuah perbukitan luas. Terbayang olehku bagaimana saat sang wali membuka lahan ini pada zamannya. Sebelum berubah menjadi sebuah desa yang mandiri, perbukitan ini merupakan lokasi yang tak pernah dijamah manusia. Hutannya pun tandus. Namun keunggulan lokasi ini adalah, aman dari luapan air laut yang bisa mengakibatkan banjir. Berkat izin dari Sultan Demak, Raden Fatah, dibukalah lahan ini oleh tiga saudara, Sunan Drajat, Sunan Bonang, dan Sunan Giri. Selain mendapat bimbingan suluk dari kakak sulungnya, Sunan Bonang dan ilmu tauhid, fiqih dan politik pemerintahan dari saudara sepupunya, Sunan Giri, Raden Qasim menyerap ilmu dari Sunan Gunung Jati. Selama tinggal bersama Sunan Gunung Jati, ia mendapatkan ilmu politik dan pemerintahan, ilmu dakwah, dan khazanah sufistik Syadziliyah Sunan Gunung Jati yang bersumber dari Syech Ibnu Atha'illah penulis kitab Al-Hikam. Namun kecenderungannya untuk hidup di tengah masyarakat, membuatnya menjauhi kehidupan keraton. Setelah diresmikan oleh Sunan Gunung Jati sebagai anggota Walisongo di Istana Pakungwati Cirebon, Raden Qasim justru lebih sering meninggalkan gurunya di Cirebon untuk berdakwah keliling kampung. Sebagai keturunan ningrat dari Sunan Ampel, mestinya ia juga punya kesempatan untuk menjadi imam di Masjid Demak. Tapi sejak awal ia memang tak tertarik dengan dunia keraton. Ia lebih suka memohon ijin dari Sultan Demak untuk membangun masyarakat, membuka lahan dan menciptakan desa baru. Usianya dihabiskan hanya untuk membina masyarakat. Ia membangun masjid sebagai pusat pembinaan masyarakat. Iapun membangun pesantren untuk mendidik regenerasi dakwah. Pendekatan kesenianpun ia lakukan dengan gending dan tembang pangkur. Dan yang paling diprioritaskan olehnya adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat. Sunan Drajat selalu memberi motivasi dan bimbingan agar masyarakat terbebas dari kemiskinan. Ia berpikir, bagaimana masyarakat mau mendalami agama jika masih berkutat pada masalah kelaparan. Catur Piwulang adalah salah satu ajaran Sunan Drajat :

"berikan tongkat kepada yang buta, berikan makanan kepada yang kelaparan, berikan pakaian kepada yang telanjang, berikan payung kepada yang kehujanan."

Ajaran ini bukan sekedar membentuk rasa persaudaraan antar warga tetapi juga memupuk kesetiakawanan, kepedulian, hidup berbagi tanpa melihat perbedaan latar belakang. Di luar kegiatan memberikan pengajian, ia kerap berjalan-jalan melihat keadaan masyarakat dari rumah ke rumah. Ketika senja makin jingga, biasanya ia mendekati warga yang masih beraktifitas, sambil mengingatkan, "berhentilah bekerja, jangan lupa shalat!". Tutur kata dan sikapnya yang santun tak pernah mendapatkan penolakan dari masyarakat. Kuikuti langkah teman-teman menapaki tujuh tangga menuju cungkup makam Sunan Drajat. Tujuh tangga (Thunda Pitu) melambangkan 7 proses penciptaan manusia hingga menuju derajat insan ; ahadiya, wahda-wahidiya, a'yan kharija, ‘alam arwah, ‘alam mitsal, ‘alam ajsam, ‘alam insan. Sampailah kami di depan makam utama, sebuah bangunan kayu penuh dengan ukiran. Kami duduk bertebaran di sisi batu nisan yang mengelilingi makam sang Sunan. Dengan bimbingan Kyai Nasrudin, kami mulai melakukan kontak spiritual dengan ruh sang wali melalui doa dan wirid. Sunan Drajat adalah salah satu dari beberapa wali yang memiliki peninggalan literatur. Ia selalu menyempatkan waktu untuk mengikat ajarannya dalam sebentuk manuskrip. Kitab-kitab tentang ilmu dan rahasia kehidupan yang ditulisnya merupakan warisan yang paling berharga ketimbang harta benda.

tunggu laporan selanjutnya : tidak semua wali ditorehkan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline