Lihat ke Halaman Asli

N(e)geri Ngeri

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu pemilu pemilu, lebih dari satu bulan kita di bombardir oleh kalimat itu. Kata orang ini pesta demokrasi, tapi pada prakteknya semua hal sarat politisasi, kata orang ini soal adu visi-misi, namun buktinya ini hanya menjadi alat pemerintah untuk mengecilkan harap dalam hati, sadarkah kita jika selama ini yang ada hanya adu domba dalam negeri? sadarkah kita jika yang ada saat ini hanyalah fitnah antar pribadi? Mungkin benar di negeri ini yang dibutuhkan memang revolusi, namun bukan revolusi yang membuat rakyatnya mati, negeri ini membutuhkan revolusi yang dimulai dari hati.

Kini kita tengah berada pada masa dimana semua hal yang ada terkesan dibuat-buat, kini orang-orang begitu mudah melupa, tak ada yang mau melihat tak ada juga yang punya peka. Pastinya kita sering melihat dan mendengar beberapa politisi berbicara, tapi tak sebusuk hari ini, kini dengan mudah kita tak mempedulikan sejarah, kini dengan mudah kita memfitnah, satu orang berbicara bahwa kejahatan masa lalu hanyalah sejarah, dan tak perlu diperdebatkan lagi, apa kita pernah berada pada posisi dimana kita harus kehilangan orang atau hal yang kita cintai hanya karena sebuah kejahatan yang dilakukan oleh kepentingan pribadi, kelompok atau bahkan sebuah organisasi?? Apa kita mau menerima dan berbesar hati jika ada salah satu hal dari kita yang hilang, yang menjadi korban dari satu kejahatan lalu ketika kita menuntut keadilan, seseorang itu bicara kepada kita bahwa “itu semua hanya sejarah, lupakan saja?” Lalu apa kita rela jika ada seorang pembunuh mengatakan hal serupa kepada kita yang kehilangan? Dengan mudah dia berkata “Lupakan saja, semua sudah berlalu, sudah menjadi sejarah.” Menghilangkan paksa, bahkan membunuh KAU bilang hanya masalah SEJARAH??? Sementara itu ada satu orang lainnya di negeri ini dapat dengan mudah meng”KAFIR”kan manusia lainnya hanya karena dia tak berpakaian laykanya santri, apa serendah itu ilmu agama kita di negeri ini, hingga dapat dengan mudah membuat standarisasi kafir sekonyol dan serendah itu? Negeri apa yang didalamnya dihuni oleh manusia macam ini?

Di negeri yang katanya kita cintai bersama ini, anak konglomerat juga pejabat kebal terhadap hukum, tak tersentuh oleh hukum, mungkin menghilangkan nyawa orang pun tak perlu dihukum, di negeri yang katanya kita cintai bersama ini, kerusakan karena kesalahan pribadi hanya dianggap sebagai bencana nasional, di negeri yang katanya kita cintai ini, dengan mudah kita mengatakan “tak beriman seseorang hanya karena dia tidak memakai peci”, di negeri yang katanya kita cintai ini, hal baik dianggap sebagai sebuah pencitraan, pertanyaannya adalah, manusia mana yang hidup dipermukaan bumi ini yang tak perduli dengan citra dirinya sendiri?? Yang terpenting disini adalah soal adanya sebuah batas yang jelas dari dampak pencitraan itu sendiri, apalagi jika pencitraan itu merupakan suatu tindakan nyata yang berguna bagi orang banyak. Di negeri yang katanya kita cintai ini, seseorang yang menjalankan amanat konstitusi dianggap boneka, lalu siapa manusia didunia ini yang bukan boneka?? Kita yang hidup juga hanya sebuah boneka, entah itu akibat sistem, atau akibat ketidakmampuan kita melawan, gagalnya kita menjadi tuan hingga akhirnya menjadi babu bagi dari diri kita sendiri.
Terlalu naïf jika kita memandang suatu hal hanya dari satu perspektif saja, bodohnya kita selalu nyaman dengan hal ini, kita terlalu malas untuk menggali suatu hal lebih dalam lagi, terlalu naïf jika kita tak mau mengakui bahwa hal tersebut (baca: citra juga boneka) juga melekat pada diri kita sekarang ini, yang terpenting saat ini mungkin adalah bagaimana kita kembali menghidupkan kembali nurani yang telah lama mati, atau bahkan sengaja kita biarkan mati, ini semua tentang revolusi, ini semua tentang berfikir yang juga melibatkan hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline