Memiliki seorang pasangan (Perempuan) yang memiliki kualitas, kapabilitas dan berintelektual merupakan keberuntungan tersendiri bagi lelaki. Tak hanya mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik, dengan segala kompleksitas permasalahan rumah tangga, ia juga mampu menjadi seorang solutif, inovatif dan kreatif, tak hanya terpaut dalam hal itu. Namun, ia juga mampu menjadi guru bagi anak-anaknya kelak.
Perkembangan dunia hari ini, telah mematahkan konotasi bahwa seorang perempuan hanya akan mengurusi dapur, kasur dan sumur, tidak boleh lebih dari hal itu. Karena hal ini menampakkan bahwa menjadi seorang perempuan tidak lebih, harus mampu menguasai skill di 3 bidang tersebut. Sehingga untuk menjadi aktor, promotor ataupun penggerak serta kebebasan mengenyam sebuah pendidikan tidak menjadi suatu hal yang utama.
Asalkan sang lelaki dan anak senang yah sudah, Itulah utama.
Di indonesia sendiri telah banyak tokoh-tokoh perempuan yang telah berjuang untuk menjadikan kaum ini sebagai seorang yang terpandang, dengan spirit literasi yang ia punyai, R.A. KARTINI dengan keberaniannya memperjuangkan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Cut Nyak Dien yang juga ikut terlibat dalam perang mengusir penjajahan dari tanah airnya sehingga harus meninggal demi kemerdekaan.
Roehana Koeddoes, yang juga mampu menentang sistem partriarki dalam kebudayaan tempat tinggalnya, dengan sebuah cita-cita mengangkat derajat perempuan untuk mengenyam sebuah pendidikan. Akhirnya, ia pun tercatat sebagai perempuan pertama yang menjadi wartawan. Tak hanya itu, tokoh perempuan ditanah luwu raya pun juga banyak menghiasi perjuangan perempuan, salah satunya yakni opu daeng risadju yang rela meninggalkan keluarganya, suami beserta anak-anaknya demi suatu pencapaian kemerdekaan. Bisa menjadi rujukan referensi bagi kaum perempuan.
Abad 21, abad dimana segala hal bisa menjadi hal yang wajar dan gemerlap, banyak dari perempuan kita yang lebih banyak mengasingkan diri dan tidak terlibat dari gagasan serta bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya, bicara soal kepingitan perempuan yang acapkali menjadi slogan dari kaum pembebasan hak kaum perempuan, seperti diatas yang telah saya sebutkan, bahwa mereka tidak menyadari bahwa sebagian kaum perempuan yang tidak mampu keluar dari zona nyamannya untuk memberanikan diri maju dalam konteks pengetahuan dan keilmuan. Sehingga perempuan, di tengah gemerlap zaman kebebasan, tanpa sadar tetaplah terpingit oleh hal-hal artifisial.
Seperti perkataan diatas, perempuan di era kebebasan tidak lagi terpingit dengan adanya sistem patriarki yang selama ini menjadi salah satu soal pembicaraan kebebasan perempuan. Namun, melainkan perempuan saat ini terpingit oleh label-label maupun stereotipe "Cantik, Manis, dan keindahan lainnya yang semu", sehingga berbicara soal gagasan pengetahuan dan keilmuan ataupun menjadi promotor pergerakan perempuan, merupakan soal kedua di dalam pemikiran perempuan.
Perempuan, Dunia Politik, dan Kesadaran Masyarakat
Secara hukum di indonesia, secara partisipasi politik kaum perempuan telah diberikan kuota sekitar 30%. Angin segar ini tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum yang menyediakan ruang bagi perempuan ikut andil dan berpartisipasi sebanyak 30%. Ketentuan ini untuk menopang agar perempuan mempunyai hak yang sama dalam politik.
Hal ini merupakan proses kesadaran dan pembentukan kapasitas yang lebih besar bagi kemajuan negara dan bangsa, karena telah mendorong partisipasi kaum perempuan keranah publik dan bukan lagi terpingit bahkan terpinggirkan kepermasalahan domestik semata.
Dalam bukunya sendiri yang berjudul "Sarinah" the founding Father, Ir. Soekarno, mengatakan bahwa soal perempuan adalah soal masyarakat, maka soal perempuan adalah sama tuanya dengan masyarakat. Soal perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan. Lebih tegasnya soal laki-laki-perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan.