Friedrich Wilhelm Nietzsche seorang filsuf jerman pernah berkata dunia dirundung pembalikan semua nilai, ia mengambarkan bahwa segala yang baik tidak nampak lagi baik bisa saja menjadi keburukan dan yang buruk pun sudah menjadi suatu hal yang baik sehingga sesuatu ini baginya harus dapat pembaharuan.
Konflik di timur tengah yang masih menjadi kawasan yang penuh dengan ketidakpastian perdamaian, contohnya, peperangan Israel dan Palestina semakin hari semakin meruncing menjadi perhatian dunia. Tindakan balas membalas pun semakin memperbesar skala konflik, dan juga mengambil lebih banyak korban umat manusia.
Perang saudara di Suriah, yang meliputi ketegangan regional sekaligus global antara Rusia dan Amerika Serikat, juga masih jauh dari kata berakhir, belum lagi permasalahan di asia tenggara dan selatan, seperti rohingya yang acapkali di isukan sebagai peperangan perebutan wilayah keagamaan, sedang yang terjadi adanya grand design yang bermain untuk menguasai sumber daya alam di rohingya tersebut.
Tak hanya rohingya, negara-bangsa (red : Indonesia) yang telah merdeka selama 72 tahun ini juga banyak dirundung permasalahan yang kompleks dan multidimensional, persoalan korupsi yang tak henti habis-habisnya juga menjadi catatan kusam yang perlu untuk diselesaikan. Disisi lain, ada kerindungan mendalam untuk melihat bangsa ini menjadi suatu yang bangsa kuat dan terbebas dari segala macam patologi abad 21.
Negara bangsa ini juga nampak sedang kebingungan dalam melihat realitas global, munculnya hantu radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme menjadikan bangsa ini sebagai bangsa paranoid, sedang dalam internalnya sendiri kompleks masalah tak kunjung henti-henti diselesaikan, bahkan salah satu ideologi komunis yang telah mati puluhan tahun pun masih dilihat sebagai ancaman nyata.
Memang diabad 21 ini, seluruh nilai nampak berubah, yang dulunya waras saat ini tidak dapat lagi mendapatkan kewarasannya, yang dulu sebagai bangsa yang beradab kini menuju biadab, yang berpenampilan bagaikan ulama pun juga belum menjamin bahwa ia seorang ulama, seorang yang memiliki prestasi dan kapabilitas dalam memimpin suatu negara telah disingkirkan oleh politisi rakus yang hanya memiliki kapital.
Tak jarang kita dapati seorang dengan panji kebesaran tuhan, ia semena-mena melakukan diskriminasi dan teror kepada orang yang berseberangan dengan dia. Fatalnya, hal yang sering dianggap buruk bagi kelestarian kesatuan bangsa akan adanya ancaman perpecahan pun kini telah di anggap sesuatu hal yang wajar, dan ironinya lagi sebagian besar masyarakat menerima mentah-mentah akan perihal tersebut. Lalu, mengapa hal ini semua dapat terjadi begitu cepatnya ?
Diabad 21 tingkat kewarasan seseorang tidak lagi didasari cara ia memandang dunia dengan dasar kenyataan maupun fakta. Melainkan, dilihat dari ambisi dan angan-angan dunia semata, sehingga hal ini berujung pada hilangnya ia dari akar kenyataan.
Pijakan-pijakan kebaikan dan kemanusiaan tidak lagi menjadi suatu hal yang subtansi untuk di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari, ia hanya menjadi suatu ajaran yang kuno bagi masyarakat modern yang penuh dengan hal-hal semu semata. Maka dari itu kesimpulan dasarnya, kita menginginkan atau membutuhkan pijakan-pijakan baru dalam kehidupan.
Moralitas tidak lagi menjamim keberlangsungan hidup dengan damai, moralitas acapkali menjadi suatu hal dapat berubah secepatnya menjadi keburukan. Reza A.A Wattimena, Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya dalam tulisannya mengatakan bahwa Satu hal yang pasti adalah, bahwa moralitas adalah pertimbangan pikiran. Ia terjadi di dalam pikiran manusia. Ia tidak ada secara nyata dan empiris di dalam kenyataan sehari-hari. Moralitas bukanlah kenyataan alamiah.
Karena baginya, moralitas merupakan pertimbangan baik dan buruk untuk memutuskan serta melakukan sesuatu, sehingga acapkali moralitas terjebak didalam keputusan dan pertimbangan tersebut yang akan mengalami ketegangan batin didalam diri seseorang.