Lihat ke Halaman Asli

Haruskah Sertifikasi Dosen Terus Berlanjut?

Diperbarui: 2 September 2015   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

UUD (ujung ujungnya duit)...

Semangat Siang,

Sertifikasi adalah sebuah produk, dimana dengan label tersertifikasi adalah menjelaskan bahwa pruduk tersebut telah diakui secara profesional. Begitu pula dengan sertifikasi untuk guru maupun Dosen sebagai pengakuan keprofesionalan seorang tenaga pendidik sekaligus sebagai seorang pengajar (walopun kadang kala ada misi UUD).

Melihat orientasi dan penilaian dari sertifikasi dosen yang menerapkan penilaian gabungan (toefl, tkda, DD dan forto polio) mengindikasian keinginan untuk terciptanya pedidik sekaligus pengajar yang pandai, cerdas, bertanggung jawab dan mandiri sehingga akan terbentuk karakter pendidik sekaligus pengajar yang tangguh yang pada akhirnya menghasilkan lulusan yang handal, kreatif dan inovatif tentunya juga tahan banting (asal ga terbuat dari kaca).

sedangkan untuk menjadi seorang dosen bahkan untuk mencapai level profesional dengan gelar profesor (berdasar penelusuran mbah google) sekarang harus melalui tahapan2 yang semakin sulit, indikasinya :

  1. untuk mendapat NIDN atau nomor dosen, harus :
    • minimal berijazah S2
    • keilmuan linier (bisa serumpun)
    • menguasai bahasa ingris (dibuktikan dengan toefl atau ielt)
    • ber IQ tinggi (menyertakan hasil TKDA dari yang diakui)
    • dll (mungkin masih ada yang lain yang penulis kurang tahu, silahkan tambah sendiri... itu masih nomor dosen dan belum diakui sepenuhnya menjadi seorang dosen)
  2. level dosen terendah dengan jabatan fungsional AA (sekarang min 150 kum)
    • minimal berijazah S2
    • keilmuan linier (bisa serumpun)
    • Harus sudah melaksanakan penelitian
    • harus sudah melaksanakan pengabdian kepada masyarakat
    • punya publikasi ilmiah dalam bentuk jurnal
    • dll (mungkin masih ada yang lain yang penulis kurang tahu, silahkan tambah sendiri...)
  3. level dua dengan jabatan Lektor (antara 200 - 300 kum)
    • minimal berijazah S2
    • keilmuan linier (bisa serumpun)
    • Harus sudah melaksanakan penelitian
    • harus sudah melaksanakan pengabdian kepada masyarakat
    • punya publikasi ilmiah dalam bentuk jurnal
    • dll (mungkin masih ada yang lain yang penulis kurang tahu, silahkan tambah sendiri...)
  4. level tiga dengan jabatan Lektor Kepala (antara 400 - 700 kum)
    • minimal berijazah S3
    • keilmuan linier (bisa serumpun)
    • Harus sudah melaksanakan penelitian
    • harus sudah melaksanakan pengabdian kepada masyarakat
    • punya publikasi ilmiah dalam bentuk jurnal Nasional yang terakreditasi atau jurnal internasional.
    • dll (mungkin masih ada yang lain yang penulis kurang tahu, silahkan tambah sendiri...)
  5. level tertinggi dengan jabatan Profesor (800 kum ketas)
    • minimal berijazah S3
    • keilmuan linier (bisa serumpun)
    • Harus sudah melaksanakan penelitian
    • harus sudah melaksanakan pengabdian kepada masyarakat
    • punya publikasi ilmiah dalam bentuk jurnal Internasional bereputasi
    • dll (mungkin masih ada yang lain yang penulis kurang tahu, silahkan tambah sendiri...)

Dengan tahapan yang begitu sulit untuk menjadi seorang Dosen yang diakui dengan diperolehnya jabatan fungsional apakah tidak selayaknya sertifikasi dosen (yang konon UUD) yang hanya selembar kertas itu ditiadakan?. kalaupun pemerintah ingin memberikan tunjangan agar kesejahteraan dosen lebih terangkat besaran yang diberikan bisa didasarkan atas capaian berdasarkan jabatan fungsionalnya saja, karena untuk menitih tangga level jabatan fungsional dosen saja sudah sangat berat, bahkan lebih berat dari syarat memperoleh sertifikasi.

kalau ada yang kurang berkenan silahan ditambahi sendiri saja... penulis hanya mengutarakan berdasarkan inpo dari mbah google, mohon maap kalo ada yang kurang.

Semoga tulisan ini dibaca oleh pak mentri.

 

 

Salam Hangat,

Semangat Siang. 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline