Lihat ke Halaman Asli

Masykur Mahmud

TERVERIFIKASI

A runner, an avid reader and a writer.

Ambiguitas Asesmen dalam Kurikulum Merdeka, Siapkah Guru Menyesuaikan Penilaian?

Diperbarui: 30 Oktober 2024   12:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

siswa antusias belajar|freepik.com

Era pergantian menteri sering dikaitkan dengan pergantian kurikulum. Guru di sekolah mau tak mau atau rela tak rela harus siap mengikuti kebijakan baru pemerintah.

Setiap pergantian kurikulum di Indonesia menyisakan pertanyaan mendasar. Arah perubahan kurikulum hanya menyasar aspek umum, sementara dinamika masalah di lapangan yang dihadapi guru dalam kelas jarang dipertimbangkan.

Kehadiran Kurikulum Merdeka pada awalnya membawa angin segar bagi guru. Guru lebih bebas mengotak-atik bahan yang ingin diajarkan pada siswa dan lebih leluasa dalam hal penggabungan materi.

Namun, di balik semua kemudahan yang dibingkai dalam kata 'Merdeka', tidak sedikit guru di sekolah merasa tersiksa. Mereka kehilangan keseimbangan untuk menimbang materi apa yang kiranya sesuai dan menilai aspek perkembangan siswa.

Jangan samakan Indonesia dengan negara maju. Kesiapan guru mesti dijadikan tolak ukur keberhasilan sebuah kurikulum. Mengharuskan guru berpindah dari satu kurikulum ke kurikulum lain memberi dampak buruk terhadap kualitas pembelajaran.

Berapa persen guru di Indonesia yang benar-benar siap beralih ke kurikulum baru?

Pertanyaan ini sering diabaikan pemerintah. Padahal, permasalahan di lapangan cukup kompleks. Jangan bicara kesiapan guru dulu, kualitas guru saja masih belum merata antara kota dan desa.

Transisi kurikulum lama ke baru kiranya tidak dilakukan serta merta. Perbaiki terlebih dahulu kualitas guru dan analisa permasalahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran dalam kelas. 

Banyak sekolah yang tentunya masih kekurangan guru untuk mata pelajaran tertentu. Akibatnya, satu guru bisa mengajar beberapa pelajaran sekaligus. 

Yang lebih menyedihkan lagi, mata pelajaran (Mapel) diasuh oleh guru yang bertolak-belakang dengan bidang keahliannya. Misalnya, guru agama mengajar bahasa Inggris. 

Bayangkan bagaimana kualitas output pembelajaran jika guru 'dibiarkan' mengajar pelajaran yang tidak sepenuhnya dikuasai. Mereka kadangkala tidak punya pilihan karena ditunjuk untuk mengisi kekosongan guru di sekolah.

Jika guru-guru tidak terlebih dahulu disamakan persepsi, bagaimana mungkin mereka siap untuk menerapkan apa yang tidak dimengerti?

Asesmen Kurikulum Merdeka

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline