Hari yang panas di kala saya mengunjungi sebuah museum. Banyak guru sedang membawa siswa untuk menikmati keindahan gedung karya arsitek ternama, Ridwan Kamil.
Museum Tsunami Aceh, itulah nama tempat yang saya kunjungi di pusat kota Banda Aceh. Museum ini dibangun beberapa tahun setelah tsunami memporak-porandakan Aceh.
Ingatan saya sangat kuat bagaimana dulunya area tempat berdirinya museum ini hancur akibat ganasnya terjangan ombak tsunami.
Di sore hari setelah kejadian tsunami tahun 2004, saya berdiri hanya beberapa meter dari lokasi museum megah ini untuk mencari beberapa saudara yang hilang dalam terkaman ombak.
Mayat-mayat berhamburan di selah puing-puing bangunan. Dari pinggir gedung tsunami, laut terlihat begitu jelas karena bangunan telah rubuh total.
Kini, Museum Tsunami Aceh menjadi landmark kota Banda Aceh. Sejarah tsunami terpampang melalui gambar-gambar hasil potret kamera, disertai terjemahan ke dalam bahasa Inggris.
Turis asing datang kesini untuk melihat langsung kedahsyatan tsunami. Di lantai atas, turis bahkan bisa melihat fenomena tsunami berbentuk digital. Siapa saja boleh masuk dengan karcis murah untuk mengenang kejadian tsunami 2004.
Tulisan saya ini tidak untuk membahas kejadian tsunami. Saya ingin menuliskan sisi lain, yakni berhubungan dengan terjemahan bahasa Inggris di area publik.
Saat menyaksikan beberapa gambar pajangan di pelataran lantai utama. Saya dengan teliti membaca hasil terjemahan bahasa Inggris dan mencocokkan kembali dengan teks asli bahasa Indonesia.
Ternyata apa yang saya khawatirkan benar-benar terlihat jelas. Hasil terjemahan beberapa gambar sungguh tidak layak. Bahkan, konteks kata dan kalimat dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris sama sekali tidak terhubung.