"Doom spending is basically spending money on short-term, instant enjoyment, rather than saving it for the future, to cope with economic stress and worries."
Doom spending bisa diartikan sebagai sebuah kebiasaan berbelanja dengan tujuan membahagiakan diri dengan cara instan tanpa memikirkan efek jangka panjang.
Kebiasaan ini dipicu oleh banyaknya informasi dari aktivitas berselancar di internet, terutama akses informasi dari media sosial. Pada dasarnya, dorongan berbelanja ini muncul akibat emosi negatif yang menetap di otak.
Dari hasil sebuah survei lembaga internasional melibatkan 4,342 responden, 36.5 % orang dewasa menganggap diri mereka lebih baik dari pendahulunya. Dalam hal ini, mereka berpendapat hidup mereka sedikit lebih baik dari orangtua mereka sebelumnya.
Namun, 42.8% menganggap kualitas hidup mereka jauh lebih buruk dibanding kehidupan orangtua masa dahulu. Akibatnya, mereka membangun sudut pandang berbeda dengan perilaku berbelanja diluar kontrol.
Emosi buruk bersebab aktivitas online memberi efek pada perilaku para remaja dan orang dewasa. Oleh sebab itu, istilah doom spending melekat pada dua generasi, yaitu gen Z dan milenial.
Uang dan Masa Kecil
Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Ken Honda berjudul Happy Money, sikap atau perilaku seseorang berkaitan dengan uang seringkali berawal dari memori masa kecil.
Cobalah sekilas kembali ke ingatan masa kecil, lalu kenali emosi tentang uang. Apakah kita mengaitkan uang dengan emosi positif atau negatif?
Setiap orang mempunyai sudut pandang berbeda akan uang. Ada yang menganggap uang sumber musibah, ada pula yang meyakininya sebagai sumber keberkahan.
Maknanya adalah, emosi yang kita tempelkan pada uang berfungsi sebagai magnet untuk menarik atau menolaknya. Sekilas mungkin terkesan mustahil, tapi kenyataannya sangat masuk akal.