Hasil panen melimpah tidak selamanya membawa kabar bahagia bagi petani. Di Magelang baru-baru ini petani terpaksa menyetujui harga pasar. Hasil panen pakcoy yang sebelumnya dijual tujuh ribu per kilogram, kini anjlok ke angka tak disangka.
Bayangkan, sekilo pakcoy hanya 200 rupiah. Akibatnya, petani memilih untuk menyedekahkan pakcoy ke pesantren ketimbang busuk.
Ah, mulianya hati petani tersebut. Harga jual yang tak masuk akal ini semestinya tidak terjadi jika pemerintah hadir dengan kebijakan yang memihak para petani.
Ini hanya gambaran satu dari sekian banyak nasib buruk petani di Indonesia. Mereka kadang harus mengeluarkan modal besar di awal untuk bertani, tapi ketika musim panen tiba harga jual tidak seperti yang dibayangkan.
Belum lagi ketika tumbuhan terserang hama, biaya operasional malah lebih besar. Sehari yang lalu saya membeli tomat di sebuah pasar. Dengan harga 10 ribu, saya bisa mendapatkan tiga kilogram tomat. Biasanya 10 ribu harga ideal untuk satu kilogram tomat.
Ketika saya tanya kenapa harga jual sangat murah, penjual menjelaskan bahwa terlalu banyak tomat saat ini. Petani memanen dalam waktu bersamaan. Di tingkat petani, harga boleh jadi lebih rendah dari harga pasar.
Bagi pembeli ini sangat menguntungkan, namun tidak disisi petani. Mereka mengolah lahan, menyemai bibit, dan banyak juga yang menyewa pekerja untuk lahan yang luas. Harga jual yang begitu rendah membuat keuntungan sangat tipis.
Petani yang pola pikirnya sedikit lebih maju biasanya akan mengolah sayuran atau buah manakala hasil melimpah ruah.
Misalnya, tomat bisa dijadikan saos atau nanas yang bisa dijadikan selai. Harga jualnya bisa lebih tinggi dengan kemasan menarik.
Tapi, peran pemerintah dalam usaha mengimbangi harga pasar masih belum terlihat. Padahal, dengan kebijakan harga jual terstruktur, petani tidak perlu khawatir akan hasil panen yang melimpah.