Program Tapera mengundang pro kontra di kalangan masyarakat. Ada yang berpendapat jika program Tapera ini menjadi angin segar bagi yang belum memiliki rumah, tapi angin ribut bagi yang sudah berumah (tangga).
Pada dasarnya ide Tapera baik. Hanya saja, transparansi eksekusi program belum tergambarkan dengan jelas. Wajar jika masyarakat menolak untuk berpartisipasi terlepas dari sisi positifnya.
Sebagaimana yang pernah dituliskan oleh pak Eko tentang Tapera yang menyinggung public trust, hal ini cukup memberi tolak ukur sejauh mana program Tapera akan berhasil.
Realita di lapangan hari ini, masyarakat kelas menengah semakin tertekan dengan biaya hidup yang terus meroket. Sebaliknya, pendapatan selalu fluktuatif di angka yang meresahkan.
Saya sempat bertukar pikiran dengan seorang teman yang pernah tinggal di Australia. Menurutnya, nilai tukar uang di Australia dengan gaji terkecil sekalipun masih sangat rasional.
Sebagai contoh, teman saya ini bisa membeli tiket konser seharga $99 Australia. Harga segitu relatif seimbang dengan biaya hidup harian disana. Dengan bekerja sebagai cleaning service saja, butuh 3-4 jam untuk mengumpulkan angka yang sama.
Artinya, peran pemerintah dalam hal menjaga nilai tukar uang dengan kebutuhan harian sangat ideal. Sekarang coba bandingkan dengan gaji buruh kasar di Indonesia per bulan, apakah nilai tukar uang yang diperoleh mencukupi kebutuhan harian?
Jawabannya tidak perlu dianalisa lebih jauh. Kita semua tahu, untuk ukuran PNS saja masih harus mencari tambahan guna mencukupi kebutuhan keluarga.
Jika demikian, apakah program Tapera wajar untuk dieksekusi?
Saya sengaja menempatkan dua kata : Tapera dan Tupperware di judul tulisan. Silahkan tanyakan ibu-ibu, mana yang mungkin mereka pilih antara keduanya.