Lihat ke Halaman Asli

Masykur Mahmud

TERVERIFIKASI

A runner, an avid reader and a writer.

Segelas Kopi dan Amarah yang Membelenggu

Diperbarui: 9 Mei 2024   12:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Segelas kopi | Freepik.com

Tiba di sebuah warung kopi (warkop), saya memesan secangkir kopi berpadukan susu kental manis. Beberapa menit kemudian pesanan tiba di atas meja.

Tanpa menunggu lama, saya segera mencicipinya agar panasnya kopi terasa di lidah. Ah, rasanya kurang pas! sangat manis dan tidak terlalu hangat. 

Saya mulai merasa kesal. Apa solusinya agar rasa kopi tidak terlalu manis dan airnya bisa sedikit lebih hangat. Pikir saya sejenak menanti solusi. Mau marah pun tidak ada makna.

Ah, saya melanjutkan beberapa tegukan, lalu mengangkat gelas ke tempat peracikan kopi. 

"Bang, tolong tambahkan air panas sedikit, rasanya terlalu manis". Ucap saya meminta barista untuk menambahkan air ke gelas. 

"Baik, bang. oh terlalu manis ya" jawabnya singkat. 

Air panas mendarat ke dalam gelas, rasa kopi mulai pas di lidah. Tidak terlalu manis dan hangat di kerongkongan. 

Sejenak, saya mulai berpikir. Jika rasa kesal saya di awal terbawa ke perasaan, pasti efeknya berbeda pada tubuh. Boleh jadi, sampai ke rumah pun pikiran saya masih terbayang rasa kopi yang kurang pas di lidah.

Padahal, dengan mengangkat gelas dan meminta tambahan air panas, saya bisa merubah segalanya dalam sekejap. Kalau ego saya melebihi gengsi, boleh jadi rasa kesal itu meluas ke lain hal.

Fokus pada solusi  

Kita seringkali menilai masalah sebagai sumber musibah. Fokus pikiran menyita energi tubuh tanpa solusi berarti. Masalah kecil melebar kemana-mana karena fokus pikiran bukan untuk mencari solusi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline