Beberapa kali menghadiri acara pernikahan di dalam masjid, saya kerapkali menyaksikan fotografer mengambil gambar saat khutbah nikah dan pembacaan do'a berlangsung.
Tulisan ini ditujukan untuk fotografer yang mengambil momen kesakralan pada acara ritual keagamaan, terkhusus mereka yang beragama islam.
Saya sangat memaklumi jika tujuan fotografer adalah mengabadikan momen. Akan tetapi, sebagai fotografer yang baik, adakalanya mengedepankan adab saat mengambil foto.
Terlebih ketika momen orang tua yang sedang memberi nasehat nikah, hendaknya fotografer tidak membelakangi pembicara dan mengambil posisi yang sepatutnya.
Sama halnya ketika do'a berlangsung, lalu lalang fotografer untuk menjepret gambar sungguh menggangu dan sejatinya menggerus adab ketimuran. Seharusnya, saat do'a dipanjatkan, fotografer duduk dan juga ikut mendo'akan.
Pernikahan jaman sekarang memang berbeda jauh dari 10 tahun yang lalu. Keberadaan fotografer dipandang penting, malah ada yang menganggap sakral.
Jelas saja, paket wedding organizer (WO) menjadi incaran pasangan muda yang gemar mengoleksi foto kebersamaan. Foto nikah, pre-wed dan post-wed tidak boleh dilewatkan.
Fotografer jelas diuntungkan karena permintaan melonjak. Hemat saya, ada beberapa fotografer yang dari awal mengedepankan etika sebelum menerima tawaran.
Contohnya, ada yang tidak mau menerima orderan pre-wed karena tidak syar'i alias keluar garis syariat karena momen foto-foto pegang tangan, pelukan, atau gandingan sebelum akad nikah.
Kembali ke topik tulisan. Momen mengabadikan gambar di dalam masjid sebaiknya dilakukan dengan koridor yang tepat dan layak. Untuk itu, fotografer dianggap perlu memiliki prosedur yang mengedepankan etika.