Sambil merakit kata, saya memperhatikan seorang ayah dan anak yang duduk di sebelah saya. Laki-laki yang saya prediksi berumur 30 an ini sedang menikmati sebatang rokok.
Sambil menghisap, matanya tertuju pada sebuah layar segiempat. Segelas kopi menambah kenikmatan dalam kepungan kabut asap. Usai menelan asap, puntung rokok berakhir di bawah meja dengan dua kali pijakan.
Sang anak duduk menikmati sekotak susu dan tangan bergerak mencari tontonan di layar smartphone. Sesekali, asap rokok sang ayah terbang mendarat ke muka anaknya.
Dengan penuh kesadaran, sang ayah terus menikmati hisapan dan membiarkan asap tadi masuk ke paru-paru anaknya. Perlahan, pelan, namun pasti tertelan.
Apakah suasana seperti ini sering kita temui?
Iya, saya sangat sering melihat laki-laki membawa anak bersama dan mengeluarkan sekotak rokok terus membakarnya. Kepulan asap menari-nari dan menjadi oksigen 'terbaik' bagi anak.
Di satu sisi, ayah adalah pahlawan, namun di sisi lain mereka adalah lawan. Ayah berjuang mencari rejeki di pagi hari, kemudian memasukkan racun ke dalam paru-paru.
Kenikmatan sesaat menjadi penyesalan pada suatu saat. Waktu berharga anak tertutup kabut putih, rasa bahagia berganti dengan rasa sedih.
Kenapa ayah membiarkan anaknya bebas menghirup racun ?padahal, ia rela mengeluarkan uang untuk kemudian menebusnya. Rasa sayang terkadang mudah saja membutakan hati.
Hisapan kenikmatan meninggalkan kesengsaraan. Bukan hanya anak, tapi juga istri dan orang-orang yang tidak ingin menikmati racun dalam udara.