Kebutuhan pangan seiring tajamnya pertumbuhan penduduk adalah sebuah keniscayaan. Indonesia perlu berpikir jauh kedepan untuk memetakan sumber pangan dan proyeksi pertumbuhan pangan nasional.
Mewujudkan food estate tentu bertumpu pada lahan yang luas, namun ketersediaan lahan tanpa perencanaan yang matang tidak akan membuahkan hasil maksimal.
Program food estate yang sudah lama digemborkan kini seakan membisu. Food estate lebih ramah dikenal dengan sebutan lumbung pangan. Tujuannya agar ketahanan pangan di tingkat nasional terjaga.
Sayangnya, program food estate ini boleh dikatakan jauh panggang dari api. Ada yang mensinyalir terjadinya kerusakan ekosistem hutan akibat tidak adanya perhitungan matang terhadap pembukaan lahan baru.
Sebagai contoh, merujuk pada Kompas.com [16/8/203] lahan singkong di kalimantan Tengah seluas 600 hektar mangkrak akibat 'kekurangan' anggaran, sementara 17 ribu hektar sawah baru tak kunjung panen.
Akibatnya, persoalan baru muncul karena pembukaan lahan menyebabkan ekosistem sekitar berubah, sehingga banjir mudah datang dikarenakan banyak pohon yang ditebang.
Di pihak pemerintah, mereka mengklaim bahwa program ini tidak gagal, namun hanya terkendala anggaran. Padahal, realita lapangan memberikan gambaran yang lebih buruk.
Pertanyaannya, apakah program food estate ini tidak mengedepankan penghijauan? artinya, secara perhitungan kasar, jika ratusan pohon harus ditebang untuk membuka lahan, bukankah daya serap air berkurang?
Bukan hanya itu, pembukaan lahan baru malah memperburuk kualitas udara karena suplai oksigen alami dari pepohonan bakal menurun tajam 10 tahun kedepan.
Secara tidak langsung, walaupun ketersediaan makanan bertambah, ketersediaan oksigen semakin menipis. Ibaratnya, memberi solusi dengan menambah masalah baru.