Saya baru saja menghadiri dua resepsi pernikahan yang diadakan di dua tempat berbeda. Resepsi yang pertama saya hadiri diadakan di rumah dan satunya lagi di sebuah gedung.
Saat menikmati sepiring nasi, beberapa remaja di belakang saya sedang berbincang. Salah satu dari mereka berkata "kok ga ada kopinya, kan biasanya ada kopi di acara kawinan".
Saya memahami apa yang dimaksud oleh beberapa remaja ini. Biasanya, resepsi pernikahan di Aceh dewasa ini menyediakan kopi yang diolah langsung di tempat dan bisa dinikmati oleh tamu undangan secara gratis.
Akan tetapi, tidak semua orang yang mengadakan pesta resepsi mampu menyediakan ratusan atau bahkan ribuan gelas kopi untuk tamu undangan. Tidak heran, resepsi yang menfasilitasi kopi untuk tamu undangan biasa diadakan di gedung.
Ketika selesai menghadiri resepsi di rumah ini, saya bergegas menuju ke resepsi kedua di sebuah gedung kampus. Benar saja, di depan gedung terlihat sebuah tempat peracikan kopi dan beberapa sedang mengantri.
Resepsi pernikahan di Aceh setidaknya dihadiri ratusan orang, umumnya bagi mereka yang berada lumrah mengundang seribuan tamu untuk datang ke acara.
Hadirnya kopi di resepsi pernikahan menjadi sebuah peluang bisnis bagi pelaku usaha warung kopi. Apalagi di kota Banda Aceh ada ribuan warung kopi berjejer dari yang kecil sampai yang besar.
Selain menu utama berupa nasi dan hidangan lauk pauk, kehadiran kopi di tengah-tengah resepsi memberi kesan tersediri. Remaja dan orang dewasa lebih memilih untuk mengantri segelas kopi dalam ukuran kecil ketimbang minuman lain.
Ada banyak jenis kopi yang ditawarkan, dari Arabica sampai Robusta. Kopi-kopi ini didapat dari perkebunan di Gayo Lues, Aceh Tengah yang memang menjadi sentral perkebunan kopi Arabica.