Zaman sudah berubah dan pola pikir juga bergeser. Kecerdasan buatan lebih dihargai ketimbang kecerdasan alami. Manusia itu unik dan selalu mencari jalan pintas.
Sumber kemacetan sebenarnya adalah ulah tangan manusia, dari kebijakan yang tidak jelas sampai ketamakan yang tidak berkelas. Terdengar lucu, tapi begitulah adanya.
Manusia itu selalu ingin berlebih. Tidak cukup satu motor, beli satu lagi. Lalu ganti mobil dan tambah lagi. Kemudian, jalan diperlebar untuk memperlancar lalu lintas. Begitu seterusnya dan seterusnya...
Volume kendaraan tiap hari bertambah karena kebijakan mendapatkan motor dan mobil semakin mudah. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin kelihatan kaya.
Tidak cukup sampai disana, keinginan akan motor jenis baru semakin menambah koleksi yang sebenarnya hanya untuk bergaya. Sama halnya seperti keinginan membeli mobil baru.
Ketika jalanan semakin padat, ruas jalan dilebarkan lagi. Kesannya melancarkan lalu lintas, padahal tidak lebih dari sebuah solusi semetara.
Kini, manusia sudah kelewatan cerdas. Akibatnya, solusi kecerdasan alami tidak lagi mendominasi. Walhasil, muncullah kecerdasan buatan yang katanya lebih keren.
Kecerdasan buatan ini mampu mengumpulkan data lebih cepat, menganalisa masalah dan menemukan solusi yang tepat. Akhirnya, dengan penuh harap kemacetan bisa berkurang.
Ya, begitulah kerja kecerdasan buatan. Transaksi jual beli kendaraan baru terus digenjot dan kemudian dicarikan solusi tepat sasaran. Ibaratnya, menabur ikan sebanyak-banyaknya ke dalam sebuah kolam besar, lalu ikan-ikan itu diharap tidak saling bertabrakan.
Memang, manusia itu unik. Kecerdasan alami yang sudah ada tidak dikedepankan. Buktinya, membatasi jumlah kendaraan jelas tidak lebih diutamakan sebagai solusi jangka panjang.