Indonesia merupakan negara yang amat berpeluang untuk memposisikan dirinya sebagai pemimpin dalam pasar karbon. Potensi pasar karbon Indonesia bisa mencapai atau bahkan melebihi Rp. 3.000 triliun. Sedangkan menurut Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA), potensi pasar karbon Indonesia bisa mencapai US$565,9 miliar (sekitar Rp8.488 triliun).
Dana yang didapatkan dari pasar karbon ini dapat digunakan untuk menjalankan komitmen Indonesia pada perubahan iklim. Kekuatan fiskal Indonesia masih terbatas untuk mendanai semua kebutuhan aksi iklim. Oleh karenanya, diperlukan sumber-sumber pendanaan lain, seperti pendanaan yang didapatkan dari pasar karbon ini, yang diharapkan mampu untuk menutupi kebutuhan pendanaan aksi iklim Indonesia.
Penentuan Harga Karbon (Carbon Pricing)
Sebagaimana penentuan harga di pasar lainnya, penentuan harga karbon juga tergantung dari hukum penawaran (supply) dan permintaan (demand). Bertemunya kedua kurva penawaran dan permintaan ini akan menentukan harga karbon. Perlu dilakukan pemetaan peluang baik di sisi penawaran maupun permintaan.
Dalam penentuan sisi penawaran dan permintaan dalam pasar karbon dikenal istilah men-internal-kan eksternalitas atau internalized the externality. Eksternalitas adalah harga yang fair untuk semua dampak yang diakibatkan dari kegiatan ekonomi yang dilakukan. Teori ini pertama kali disampaikan oleh Arthur Pigou dalam bukunya The Economic of Welfare yang terbit tahun 1920.
Jika teori eksternalitas ini dipergunakan dalam pasar karbon, maka dampak yang disebabkan emisi karbon berupa kerusakan alam harus dibayar oleh si pelaku kegiatan ekonominya. Prinsip ini disebut Make the Polluters Pay atau menjadikan pembuat polusi membayar polusi yang telah dibuatnya.
Emisi yang mengakibatkan pencemaran lingkungan adalah salah satu eksternalitas -- dampak yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi yang tidak tercermin dalam harga yang ada saat ini. Emisi yang dihasilkan berdampak ke orang sekitar, padahal mereka tidak "membayar" untuk merasakan dampak dari emisi tersebut. Penentuan harga berbagai komoditas yang ada saat ini tidak menghitung eksternalitas ini.
Ilustrasi sederhana dari teori eksternalitas adalah A membangun taman yang indah di depan rumahnya. Si A dan orang yang lewat bisa menikmati keindahan taman tersebut. Namun, yang membayar keindahan taman tersebut hanya si A, sedangkan orang yang lewat tidak membayar.
Padahal mereka ikut menikmati keindahan taman tersebut. Jika ilustrasi ini diterapkan dalam kerusakan alam akibat kegiatan ekonomi yang dilakukan, maka seharusnya harga fair untuk kerusakan alam akibat kegiatan si pelaku ekonomi juga harus ditentukan.
Memasukkan harga atas kerusakan yang dibuat tersebut (eksternalitas) disebut sebagai internalizing the externality. Dari sinilah harga karbon di Indonesia dapat ditentukan. Perlu dihitung secara fair eksternalitas dari sisi penawaran dan permintaan.
Menata Pasar Karbon Indonesia