Lihat ke Halaman Asli

Mashadi

Pemuda biasa yang ingin berbagi cerita.

Merdeka Belajar ala Pesantren

Diperbarui: 9 Februari 2020   02:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ini adalah debut nulis saya di Kompasiana, karena nya tulisan Merdeka Belajar Ala Pesantren adalah tulisan saya yang diambil dari blog pribadi waskhas.com. Seperti pada umumnya amatiran, saya mau cek ombak apakah tulisan saya bisa diterima oleh banyak orang atau tidak. Berikut adalah artikel perdana ku untuk kompasiana.

Mendikbud Nadiem Makarim membuat gebrakan baru dengan menghapus Ujian Nasional untuk tahun 2021, sehingga format Ujian Nasional 2020 akan menjadi yang terakhir di laksanakan. 

Gebrakan ini menimbulkan perdebatan, sebagian kalangan ada yang setuju dengan Mas Nadiem sebaliknya di lain pihak ada yang menolak gebrakan baru ini. Terkait pro dan kontra penghapusan Ujian Nasional bukan kapasitas saya buat berkomentar, bagi saya apapun nanti yang akan terlaksana semoga bisa berjalan dengan baik dan bisa memajukan pendidikan Indonesia.

Seperti pada tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya cuma mau bercerita. Cerita kali ini tidak jauh-jauh dari Mas Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Masih ingat dong, viral nya teks pidato Mendikbud untuk memperingati Hari Guru Nasional 2019 (25 November) khususnya di Twitter. 

Banyak kalangan yang memuji atas apa yang dilakukan mantan bos Gojek ini, bahkan artis kenamaan Indonesia Dian Sastrowardoyo merespon teks pidato Mas Nadiem. Dalam teks pidato yang terlampir dua halaman, Mas Nadiem dengan jelas menggambarkan visi dan pemahaman beliau tentang kondisi guru saat ini di Indonesia. Selain itu Mas Menteri juga mengajak perubahan kecil untuk guru agar terlaksana di dalam kelas dengan cara :

  1. Ajaklah kelas berdiskusi, bukan hanya mendengar.
  2. Berikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas.
  3. Cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas.
  4. Temukan suatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri.
  5. Tawarkan bantuan kepada guru yang sedang mengalami kesulitan.

Mas Nadiem berharap dengan perubahan kecil yang dilakukan oleh guru di dalam kelas ini bisa membawa kapal besar bernama Indonesia untuk bergerak. Melihat dari lima point yang di cantumkan Mas Nadiem Makarim, sebenarnya sudah lama saya rasakan dipesantren.

Buat teman-teman yang pernah membaca postingan saya sebelumnya pasti sudah tahu kalo saya adalah seorang santri. Dari situ makanya saya mau bercerita tentang sistem pengajaran di pesantren, yang bila dicermati secara utuh sebenarnya sudah melaksanakan point-point yang ditulis Mas Menteri. Yang akan saya ceritakan ini adalah sistem pengajaran yang ada di pondok pesantren salaf yang berlokasi di Kediri.

Jam masuk madrasah dimulai pukul 07:30 WIB, biasanya santri sudah berangkat dari kamar masing-masing sekitar jam tujuh. Terlebih bagi mereka yang bertugas untuk menyiapkan ruangan belajar, seperti menyapu dan lainnya. 

Saat kelas III Tsanawiyyah kebetulan saya selalu berangkat lebih awal karena memiliki tugas khusus untuk menyiapkan unju'an (bahasa jawa kromo alus : minuman) untuk guru saya. Oiya untuk jenjang pendidikan di pesantren saya ada 7 tingkatan kelas, dimulai dari kelas 1-3 Ibtidaiyyah dan 1-4 Tsanawiyyah.

Setelah masuk kelas, santri akan mengomandangkan lalaran (semacam hafalan nadzom kitab) bersama-sama dikelasnya masing-masing. Ustadz/Guru yang mengajar biasanya akan masuk kelas 30 menit setelah lalaran, yang artinya jam 8 pagi guru sudah siap untuk memulai pelajaran. Walaupun ada juga Guru yang datangnya lebih awal untuk mengawasi jalannya lalaran itu sendiri. 

Pada umumnya Ustadz/Guru akan memulai pelajarannya dengan membacakan kitab/pelajaran sesuai jadwal hari itu. Akan tetapi bab atau materi yang dibacakan adalah materi yang akan dibahas untuk minggu depan atau pertemuan selanjutnya. Sedangkan santri akan menyimak bacaan Guru diserta memaknai kitab yang dibaca. "Memaknai" adalah istilah dunia pesantren; khususnya Jawa Timuran (tidak memiliki nama paten, karena setiap daerah berbeda) yang bisa diartikan menerjemahkan kitab dengan metode tertentu ala santri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline