Lihat ke Halaman Asli

Maswati Amatillah

Universitas Darussalam Gontor

Kasus Genosida Rwanda: Propaganda yang Berujung Kekerasan

Diperbarui: 30 September 2022   11:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rwanda menjadi sorotan dunia tatkala konflik internal yang melandanya mendapat perhatian, konflik antara etnis Hutu dan Tutsi yang terjadi pada 6 April 1994. Konflik ini berlangsung selama 100 hari dan memakan korban sebanyak 800.000 orang yang kebanyakan adalah orang Tutsi. (Adryamarthanino, 2022)

Jika dilihat dari level analisa, kasus ini masuk pada level analisa negara karena merupakan konflik internal yang tidak melibatkan negara lainya. Konflik ini merupakan konflik etnis yang dilakukan oleh etnis yang ada di Rwanda. Dari konflik inilah lahir propaganda sebagai alat konflik yang berujung pada kekerasan dan genosida.

Konflik yang terjadi di Rwanda ini sangat erat kaitanya dengan kekerasan karena ketika konflik ini terjadi banyak kekerasan dilakukan terutama kepada kaum perempuan. Untuk mempermudah menganalisisnya penulis menggunanakan konsep kekerasan Johan Galtung sebagai pisau analisisnya dimana terdapat tiga dimensi yang dipetakan oleh Johan Galtung. Setiap masing-masing bentuk kekerasannya dapat dikatakan bahwa: 1). Kekerasan langsung biasanya didasarkan kepada penggunaan kekuasaan (resource power). 2). Kekerasan struktural yaitu terciptanya penggunaan kekuasaan struktural, contohnya seseorang yang memiliki wewenang dalam menciptakan kebijakan publik. 3). Kekerasan kultural adalah kekerasan yang berlandaskan pada ideologis atau budaya (Susan, 2009).

kekerasan structural yang terjadi ketika itu adalah menyebarkan propaganda melalui dua media nasional Rwanda yaitu Radio Television Libres des Mille Collines atau yang sering dikenal sebagai RLTM yang berfokus untuk mempererat hubungan etnis Hutu untuk menciptakan semangat rasisme terhadap Tutsi dan melegitimasi penghapusan Tutsi dari Rwanda yang wajib dilakukan oleh Hutu sebagai mayoritas. Selanjutnya adalah surat kabar radikal bernama kanguru yang menerbitkan pornografi dalam bentuk kartun yang menggambarkan perempuan Tutsi sebagai perusak laki-laki Hutu dan kartun yang menggambarkan penderitaan Hutu yang disebabkan oleh Tutsi dan propaganda visual lainya.

Dari propaganda inilah rasa benci etnis Hutu semakin besar terhadap etnis Tutsi sehingga banyak kaum perempuan menjadi sasaran atas kekerasan tersebut. Perempuan Tutsi diperkosa dengan menggunakan benda-benda tumpul seperti gagang parang dan barel senjata serta digunakanya cairan keras yang disemburkan kearah bagian kewanitaan. tindakan ini dilakukan dengan tujuan untuk melakukan ethnic Cleasing terhadap etnis Tutsi. Bahkan kekerasan seksual yang terjadi bukan hanya sebagai pemuas hasrat pelaku tetapi untuk mewujudkan rasa takut, bentuk penghinaan, terror dalam skala besar, dan menyingkirkan etnis lawan untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan tertentu.

Konflik yang terjadi di Rwanda merupakan dampak dari konflik yang tidak diperlihatkan, jika diibaratkan konflik ini bagaikan bawang merah dan konflik yang Nampak merupakan kulit terluar dari bawang tersebut sehingga masih ada lapisan kulit lainya yang harus dikupas sampai pada intinya begitu juga dengan konflik ada factor lain yang melatarbelakanginya hingga akar. Untuk melihat bagaimana konflik etnis ini terjadi kita bisa melihat melalui pohon konflik sebagai berikut :

  • Bagian daun : Genosida merupakan dampak dari konflik internal yang terjadi di Rwanda  dan selalu menjadi highlight dari kasus ini. Pemberantasan etnis Tutsi oleh etnis Hutu dilakukan sebagai rasa balas dendam yang mendalam atas etnis Hutu kepada etnis Tutsi yang dianggap sebagai musuh karena sikap otoriternya dalam memimpin menimbulkan keresahan bagi masyarakat saat itu.
  • Bagian batang : Salah satu factor yang mendukung adanya genosida adalah propaganda. Propaganda yang dilakukan oleh etnis Hutu di media berdampak terhadap meningkatnya kebencian terhadap etnis tutsi sehingga timbullah keinginan untuk memberantas etnis Tutsi di Rwanda. Sasaran utamanya adalah kaum perempuan dimana kaum perempuan ini diperkosa secara paksa dan dirusak untuk memutus supaya tidak ada lagi generasi tutsi yang lahir.
  • Bagian akar : Jika dilihat lebih dalam lagi akar dari konflik ini adalah adanya diskriminasi yang melekat antara etnis tutsi dan hutu. Diskriminasi ini berawal dari kolonialisasi yang dilakukan oleh Jerman terhadap Rwanda yang melahirkan racist ideology. Etnis Tutsi diakui mendekati ras Eropa karena fisik mereka yang mendukung seperti memiliki tinggi tubuh yang baik, warna mata dan kulit yang terlihat lebih cerah, sehingga diasumsikan terlahir sebagai etnis yang akan memimpin Rwanda. Selain itu adanya race identity yang diberlakukan oleh Belgia terhadap kedua etnis sebagai penanda kelas sosial menimbulkan ketimpangan dalam bentuk pendidikan, fasilitas pembangunan, dan pekerjaan. Hal ini melahirkan kebencian yang sangat mendalam terhadap etnis Tutsi dengan kesuperioritasannya.

Dilihat dari analisis konflik, kasus genosida di Rwanda sudah memasuki tingkat "Together into the abyss" atau sudah sampai pada tingkat puncak. Banyak upaya yang sudah dilakukan untuk menangani kasus ini akan tetapi hanya berhasil memangkas permasalahan di daun namun tidak dengan akar permasalahan sehingga terus menimbulkan permasalahan di batang dan berlanjut ke daun.

Salah satu solusi yang bisa ditawarkan dalam kasus ini adalah dengan melakukan intervensi dari pihak ketiga karena secara internal kasus ini belum terselesaikan sehingga dibutuhkanlah pihak ketiga sebagai mediator. UNAMIR (United Nations Assistance) yang dipayungi oleh PBB menjadi organisasi internasional yang bisa membantu kasus genosida ini dengan menjaga keamanan dan keselamatan warna negara sipil Rwanda dari segala bentuk kekerasan yang terjadi.

Referensi :

ICRC, Sexual Violance in Armed Conflict, International Review of the Red Cross; Humanitarian Debate: Law, Policy, Action, Vol 96, Number 894, Summer 2014, hal 428

Human Rights Watch, 1996, Shattered Lives: Sexual Violence During the Rwandan Genocide and its Aftermath

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline