Lihat ke Halaman Asli

Revisi UU Pemberantasan Terorisme

Diperbarui: 23 Februari 2016   09:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: 2.bp.blogspot.com"][/caption]

Pasca kejadian bom thamrin 14 januari 2016, pemerintah berencanauntuk merevisi UU no 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Menurut Kepalah Badan Nasional Penanggulangan Trorisme (BNPT), Komjen Pol. Saud Usman, UU tersebut masih memiliki kekurangan karenabelum diaturnya beberapa hal yaitu, pertama pemidanaan terhadap perbuatan yang mendukung tindak pidana terorisme. Kedua, perbuatan penyebaran kebencian dan permusuhan. Ketiga, aturan tentang masuknya seseorang dalam organisasi terorisme. Keempat, masalah rehabilitasi. Keempat hal tersebut menjadi bahan pemerintah untuk merevisi UU tersebut. Selain itu, masyarakat juga beranggapan bahwa terorisme masih mengancam Indonesia dan banyak media yang menyatakan bahwa BIN masih kecolongan dalam mencegah ancaman teroris.

Akibat pernyataan itu terdapat isu dalam revisi UU no 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme akan memberikan BIN wewenang untuk melakukan penangkapan dan penahanan. Banyak pro dan kontra terhadap isu tersebut. Pihak pro beralasan apabila BIN dapat melakukan penangkapan dan penahanan maka ancaman teroris, separatis, maupun radikal dapat memberikan dampak negative terhadap BIN sendiri. Wewenang BIN dalam melakukan penangkapan dan penahanan dapat digunakan para aktivis HAM untuk menyerang BIN. Lalu dengan wewenang itu juga dapat menyebabkan kesulitan koordinasi antara BIN dan pihak kepolisian.

Banyak yang beranggapan bahwa BIN selalu kecolongan dalam banyak kasus dan dianggap paling bertanggungjawab pada setiap kejadian yang terjadi di Indonesia khususnya terorisme. BIN sebagai lembaga pemerintahan setingkat kementrian adalah lembaga koordinasi seluruh badan intelijen di Indonesia, yang bertugas untuk melakukan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan demi lancarnya seluruh system pemerintahan dan terwujudnya cita-cita nasional.

Jika UU di Indonesia kembali mengizinkan BIN melakukan penangkapan secara langsung, maka tidak akan ada lagi istilah  kecolongan. Padahal, selama ini BIN selalu melaporkan setiap situasi dan kondisi serta tindakan yang harus dilakukan pemerintah. Akan tetapi, jalur koordinasi yang terlalu kompleks membuat informasi yang seharusnya ditindak lanjuti saat itu juga bisa menjadi terlambat dan mengakibatkan munculnya istilah kecolongan.

Disini saya umpamakan jika ada kasus tenggelam misalkan, ada orang A dan B yang sedang berenang di kolam renang, kemudian orang A tenggelam dan orang B tidak langsung menolong orang A padahal orang B bisa berenang, tetapi orang B melaporkannya dulu kepada penjaga kolam yang posisinya jauh dari kolam dan akhirnya, orang A tenggelam. Begitu juga dalam kasus terorisme atau terror bom, jika aparat intelijen telah menemukan bukti yang cukup, kenapa tidak jika langsung melakukan tindakan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline