Pengalaman ini merupakan salah satu pengalaman saya mengunjungi daerah pelosok atau pedalaman. Terletak di Kabupaten Enrekang tepatnya di Kecamatan Enrekang, Desa Kumadang. Desa tersebut terletak di dekat aliran sungai saddang yaitu salah satu sungai terbesar dan terpanjang di Sulawesi selatan, desa ini dihapit oleh bukit-bukit terjal dan gunung yang lumayan tinggi. Hanya ada dua cara untuk mencapai desa tersebut, pertama dengan berjalan kaki melewati hutan yang hanya ada jalan setapak kecil di tengah hutan dan kedua dengan menaiki perahu tradisional masyarakat setempat yang biasanya disebut perahu katinting. Perahu kecil yang hanya muat untuk 5 orang dewasa dan menggunakan mesin teknologi seadanya. Perahu tersebut merupakan alat transportasi utama untuk ke desa tersebut. Saya dan teman-teman saya kesana dalam rangka kegiatan pesantren saya tahun 2012, kegiatan atau program ini dinamakan program Social and Spiritual Camp. Hampir sama dengan acara TV yaitu ‘’jika aku menjadi’’, walaupun sebenarnya Direktur pesantren saya memang terinspirasi dari acara TV tersebut. Dan Alhamdulillah kegiatan kami ini diliput dan masuk dalam siaran TVRI local.
Perjalanan saya dimulai dari Kota Makassar menggunakan Bis sewaan yaitu bis ukuran ¾. Memakan waktu 10 jam dari kota Makassar menuju Kabupaten Enrekang. Sesampainya di Kabupaten Enrekang, kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki melewati hutan selama 2 jam lebih dan barang-barang kami diantar dengan perahu katinting. Saya sampai di desa Kumadang pada pukul 12 malam dan ternyata kami sudah disambut disana walaupun hari sudah sangat gelap. Kami berkumpul di masjid untuk istirahat sejenak dilanjutkan dengan pembagian tempat tinggal selama satu minggu disana. Jadi, di Kumadang tersebut hanya ada sekitar 50-an Kepalah keluarga yang sangat sederhana, 95 % penduduk disana bekerja sebagai petani, peternak dan sekaligus nelayan di sungai saddang. Jagung adalah jenis tanaman yang paling banyak dibudidayakan disana. Satu hal yang saya sangat takjub pada masyarakat disana yaitu seluruh masyarakat disana adalah keluarga dekat. Jadi, Desa Kumadang bisa dikatakan kampung keluarga mereka semua.
Di Kumadang kami dipaksa dan mau tidak mau harus cepat beradaptasi dengan masyarakat dan lingkungan sekitar. Setiap rumah atau keluarga ditinggali dua orang dari kami. Semua alat komunikasi tidak berfungsi karena terpencilnya daerah tersebut. Saya hanya menggunakan kamera pocket digital untuk mengabadikan setiap moment saya. Saya dan seorang teman saya mendapatkan keluarga yang sangat sederhana, hanya ada sepasang kakek dan nenek dirumah tersebut karena anaknya sedang kuliah di Kabupaten Enrekang.
Hari demi hari kami jalani dengan semangat walaupun dengan segala keterbatasan dan kesederhanaan. Setiap subuh saya membawa sapi ke bukit disekitar Desa untuk makan, setelah itu kami berkebun dengan membersihkan rumput dikebun dan memanen jagung dan singkong jika sudah matang, setiap siang kami memeriksa perangkap ikan dan udang di sungai dan mengambilnya jika ada yang terjerat. Begitulah kegiatan kami pada pagi hari hingga siang hari. Dipagi hari juga, secara bergantian kami ke sekolah tradisional di desa tersebut untuk berbagi pengetahuan dan memberikan motivasi kepada anak-anak disana. Malam harinya kami ke kebun lagi untuk menjaga kebun dari babi hutan yang kerap memakan hasil kebun penduduk. semua kegiatan tersebut kami lakukan setiap harinya. Kebetulan, keluarga yang saya tempati kadang menjual hasil perkebunannya di pasar tradisional Enrekang jika hasilnya berlebih. Ketika hari pasar tiba, saya dan teman saya menemani nenek tersebut kepasar untuk berjualan jagung dan tomat. Pendapatannya tidak seberapa dan sangat kecil menurut saya jika dibandingkan perjuangan kami setiap pagi hingga sore hari bahkan malam hari bekerja seperti itu.
Seminggu di Kumadang terasa cepat berlalu, saya sadar bahwa mereka yang di pelosok perlu perhatian lebih oleh pemerintah. Banyak potensi di Daerah tersebut yang belum dikembangkan dan perlu tangan-tangan generasi muda seperti kita ini untuk memberikan semangat dan motivasi ke mereka yang ada di pelosok. banyak pelajaran penting yang kami dapatkan seperti kedisiplinan, ketekunan dan kerja keras untuk bertahan hidup. Saya membayangkan betapa banyaknya kerja keras yang harus dibumikan di tepian tanah air ini. Akhirnya kami pulang dengan salam perpisahan dari mereka semua, banyak dari kami yang diberi oleh-oleh hasil perkebunan bahkan sampai terharu dan mengucurkan air mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H