Lihat ke Halaman Asli

Keterbukaan Informasi Publik di Aceh Masih Rendah

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keterbukaan informasi di Aceh, masih jauh dari harapan. Meskipun Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh sering menyatakan diri terbuka kepada publik, tetapi paradigmanya belum banyak berubah. Perubahan-perubahan kecil baru terjadi pada organisasi daerah [SKPA/SKPK] dikarenakan memang para petingginya memiliki pemahaman dan kesadaran yang baik dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Demikian salah satu kesimpulan dari “Diskusi Evaluasi Keterbukaan Informasi Publik di Aceh” yang diselenggarakan oleh Masyarakat Transparansi Aceh [MaTA], Kamis, 28 Agustus 2014 di Banda Aceh.

Dalam diskusi ini juga mengemuka bahwa meskipun UU Keterbukaan Informasi Publik sudah efektif berlaku sejak April 2010 lalu, pemahaman dan kesadaran pengambil kebijakan di SKPA/SKPK masih belum memuaskan. Pengalaman ini diperoleh dari beberapa permohonan informasi yang diajukan oleh peserta, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota. “Persoalan mendasar adalah pemahaman dan kesadaran pengambil kebijakan di SKPA/SKPK. Tetapi bila Kepala Daerah baik di level Provinsi maupun Kabupaten/Kota punya komitmen yang kuat, tentu semangat keterbukaan informasi publik tersebut akan terlembaga dengan baik di setiap SKPA/SKPK tersebut”, ungkap Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad.

Diskusi yang dihadiri oleh unsur LSM dan akademisi tersebut juga dihadiri oleh Ketua Informasi Aceh [KIA] yaitu Bapak Afrizal Tjoetra yang bertindak sebagai narasumber. Beberapa LSM yang hadir seperti WALHI Aceh, Rumoh Transparansi, Koalisi NGO HAM Aceh, BYTRA Aceh Utara, HAkA, ADC, Balai Syura Ureung Inong Aceh [BSUIA], GeRAK Aceh, PKBI Aceh dan Jaringan Komunitas Masyarakat Adat [JKMA] Aceh.

Mawardi Ismail, pakar hukum dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh ini dalam pandangannya mengatakan bahwa keterbukaan informasi publik merupakan buah dari reformasi. Menurutnya, keterbukaan itu hak masyarakat, dan ini relevan dengan pemenuhan pelayanan publik. Karena itu, kalau ada permohonan informasi kemudian tidak direspon sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi Publik, maka diharapkan juga dapat dilaporkan kepada Ombudsman selain kepada Komisi Informasi Aceh [KIA]. Menurut mantan Dekan Fakultas Hukum Unsyiah tersebut, hal demikian dapat dilakukan mengingat pemberian informasi juga bagian dari pelayanan publik.

“Di sisi lain, tantangan terbesar juga karena Komisi Informasi Aceh [KIA] sebagai lembaga yang sah, dibentuk sesuai dengan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik, ternyata masih dianggap seperti LSM saja, kesannya begitu” sebutnya. Pemerintah Daerah masih memandang bahwa KIA itu LSM, bukan sebagai lembaga negara sehingga dalam praktiknya belum dijadikan sebagai mitra strategis untuk memastikan seluruh perangkat organisasi daerah baik SKPA/SKPK menjalankan UU tersebut dengan baik. Dengan demikian, ia berpendapat agar sosialisasi menjadi penting baik kepada masyarakat maupun Pemerintah Daerah.

“Permohonan-permohonan informasi kepada SKPA/SKPK yang dilakukan oleh personal masyarakat maupun LSM harus terus dilakukan sehingga SKPA/SKPK sebagai Badan Publik bergerak untuk memahami dan menerapkan UU Keterbukaan Informasi Publik”, sebutnya.

Sedangkan Afrizal Tjoetra dari Komisi Informasi Aceh menyampaikan bahwa dengan UU Keterbukaan Informasi Publik sebenarnya untuk memastikan hak-hak masyarakat terkait pemenuhan informasi dari Badan Publik dapat berjalan dengan baik. “KIA juga sangat membutuhkan dukungan publik, termasuk dari LSM yang notabene sebagai unsur yang sangat berperan dalam mendorong lahirnya UU ini di Indonesia. Jadi, KIA akan berfungsi dengan baik apabila juga didukung oleh publik”, jelasnya.

Disampaikan juga bahwa sepanjang tahun 2013, KIA sudah menangani sengketa informasi 11 kasus di level provinsi. Sedangkan pada tahun 2014, sudah 2 kasus di level provinsi dan 1 kasus di level kabupaten. “Dibandingkan dengan provinsi lain, jumlah sengketa informasi yang sampai ke Komisi Informasi masih sangat rendah bila dibandingkan dengan provinsi lain yang bahkan dapat mencapai 100 – 250 sengketa per tahunnya”, ungkap Afrizal Tjoetra.

Ditambahkan olehnya bahwa di level provinsi, memang sudah ada perubahan juga meskipun belum sesuai seluruhnya dengan harapan publik. “Tetapi perubahan-perubahan ini sudah ada, misalnya yang dulu website SKPA belum ada, sekarang sudah ada. SKPA yang dulunya tidak update informasinya, sekarang sudah mulai diupdate atau diperbaharui informasinya”. Ini bagian dari proses yang juga harus diapresiasi meskipun harus terus diadvokasi oleh masyarakat sehingga seluruh SKPA hingga SKPK di Aceh benar-benar terbuka kepada publik, termasuk soal penyajian informasi melalui media website, sebutnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline