Lihat ke Halaman Asli

Mustopa

Petani

Sekolah, Kegiatan Mengisi Waktu Luang Berbiaya Mahal

Diperbarui: 7 Juli 2023   16:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi wisuda (Sumber: shutterstock)

"Duit le utang iki, nggo jatah sangune Silvi" (Uang hasil mengutang ini, untuk jatah uang saku Silvi), jelas Lek Edi sambil memasukkan kembali uang tersebut ke dalam sakunya.

Siang itu terik matahari terasa membakar kulit. Saya sedang sibuk menyiangi rerumputan di sekitar tanaman kopi sambil sesekali menyeka keringat yang bercucuran. 

Pada saat itulah Lek Edi tiba-tiba datang dengan mengenakan kaus kuning lusuh, bercelana jeans yang tak kalah lusuh dan telah dipotong di bagian lutut. Topinya yang berwarna merah dan bergambar logo Tut Wuri Handayani itu agaknya itu topi Silvi anak pertamanya yang tak terpakai. Ia membawa sebilah sabit dan sepasang tali bas --tali dari pelepah kelapa muda-- untuk mencari rumput.

Menyadari kedatangannya, saya langsung berhenti menyiangi rumput untuk menyapanya. Kami pun duduk bersama beralaskan daun pisang kering. Ia lantas mengeluarkan slepen plastik lusuh berisi tembakau kuning, cengkeh ayem, dan kertas sigaret bufalo dari sakunya. Ia tawarkan lintingan itu. Ketika saya berniat untuk mengambilnya, beberapa uang ratusan ribu turut jatuh yang membuatnya tertawa sambil menjelaskan uang itu uang pinjaman untuk jatah uang saku anak pertamanya, Silvi.

Meminjam uang untuk biaya sekolah seperti yang dilakukan oleh Lek Edi ini merupakan cerita yang begitu sering saya dengar. Biasanya saya enggan untuk menanggapinya semakin jauh, entah mengapa mulut saya seringkali terkunci. Namun dalam hati saya selalu merenungkan hal itu. 

Dulu orang tua saya kemungkinan besar juga melakukan hal yang serupa. Bahkan tak menutup kemungkinan saya pun akan melakukan hal yang sama. 

Cerita-cerita semacam itu selalu diakhiri dengan kata-kata yang membuat trenyuh, "Bot-bote men anak nasibe luwih apik tinimbang aku" (Beban berat ini agar nasib anak lebih baik daripada saya).

Di kampung saya dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar warga masyarakatnya telah memprioritaskan pendidikan anak sebagai kebutuhan utama. Namun harap maklum, kemampuan ekonomi sebagian besar warga tersebut hanya mampu membiayai sampai ke jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau sederajat. Rata-rata lebih memilih Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan harapan akan langsung mendapat pekerjaan setelah lulus nantinya. Jadi harap maklum, di kampung saya tak ada satupun sarjana.

Gambar : anak sekolah. Sumber : dokumentasi pribadi

Saya termasuk anak yang pertama menapaki jenjang SMK yang kemudian diikuti oleh anak-anak yang lebih muda. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline