Lihat ke Halaman Asli

Kang Gandhung Fajar Panjalu

Kompasianer Baru - Sejak 2011.

Kita dan Awal Puasa yang Tak (Lagi) Sama

Diperbarui: 30 Maret 2022   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rukyatul Hilal sebagai salah satu metode penentuan awal bulan. Credit:sindo 

Rembulan malam sudah tak lagi utuh. Ia semakin mengecil layaknya perahu yang berlayar makin jauh. Artinya, tak lama lagi akan terjadi proses pergantian bulan dalam siklur lunar dan berarti akan ada bulan baru dalam takwim kalender qomariyah.

Satu hal yang patut menjadi perhatian adalah bahwa pergantian bulan dalam kalender qomariyah akan memasuki bulan puasa. Awalnya, tak ada yang istimewa. Mirip dengan awal bulan hijriyah sebagaimana "biasanya".

Namun yang menjadikannya perhatian adalah, awal puasa tahun ini berpotensi berbeda. Setelah sembilan Ramadhan masyarakat Indonesia mengawalinya secara hampir bersama, kecuali sebagian kelompok kecil yang secara khusus menggunakan metode berbeda.

Hampir satu dekade terakhir, tidak banyak perbincangan seputar perbedaan awal puasa, lebaran dan hari raya kurban. Hilal (bulan sabit muda) muncul dengan derajat yang sangat tinggi, atau sekalian tidak muncul (derajat negatif) sehingga disempurnakan menjadi 30 hari.


Mengapa muncul perbedaan?

Sejatinya perbedaan tersebut bukan sebatas karena pilihan metode antara hisab (menentukan awal bulan dengan data astronomis) maupun rukyah (melihat hilal secara langsung). Karena pada dasarnya, pengguna metode rukyah-pun akan mengawali pengamatannya dengan hisab. Yang lebih menjadi persoalan adalah standar atau kriteria hisab yang digunakan.

Misalnya Hisab Haqiqi Wujudul Hilal (WH) yang digunakan oleh Muhammadiyah, di mana apabila telah terjadi konjungsi sebelum tenggelam serta saat tenggelamnya matahari piringan bulan masih di atas ufuk berapapun derajatnya maka dinyatakan hilal telah terwujud dan dianggap sebagai bulan baru.

Berbeda dengan Hisab Imkanur Rukyah (IR), di mana metode ini melakukan penghitungan dengan kriteria standar minimal hilal dapat terlihat mata. Kriteria ini mengalami beberapa perkembangan. Pada tahun 1994, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meskipun menyatakan menggunakan Rukyat, namun di sisi lain juga menetapkan batas minimal hilal dapat dilihat adalah setinggi 2 derajat.

Pada 1998, Pemerintah RI menggunakan kriteria Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) versi lama, yakni IR 238, artinya tinggi minimal 2 derajat, sudut elongasi minimal 3 derajat atau umur bulan minimal 8 bulan. Tahun 2016, muncul kriteria yang dikenal dengan Neo-MABIMS IR 364 dengan syarat tinggi minimal 3 derajat dan sudut elongasi minimal 6,4 derajat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline