'Curang' atau 'kecurangan' mungkin menjadi kata yang akan sering kita baca dan dengarkan dalam beberapa bulan terakhir. Dalam sehari mungkin puluhan kali kita akan membaca dan mendengar kata 'curang' atau 'kecurangan' ini. Baik dari televisi, media online, surat kabar, media sosial sampai aplikasi pesan dan obrolan.
Saya tidak heran kata 'curang' ini sekarang sedang nge-top (kembali) karena setiap penyelenggaraan pemilu dari dulu kata 'curang' ini selalu muncul. Tidak bisa dipungkiri karena sebetulnya bangsa kita ini paling senang, gemar, hobi atau bahkan sudah menjadi kebiasaan untuk beraku curang, tidak fair atau melanggar aturan. Bukan hanya pemilu saja yang curang, tapi hampir segala sendi kehidupan kita selalu berhubungan dengan perilaku curang atau melanggar aturan/tata tertib. Pameo bangsa kita "Aturan dibuat untuk dilanggar". Akibat pameo tersebut, bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang susah diajak tertib.
Dalam konteks pemilu banyak tindakan yang bisa dianggap sebagai perilaku curang, seperti; memalsukan identitas, kampanye hitam, fitnah/hoax dan masih banyak lagi. Anggota dewan yang sering bolos tapi terima gaji dan fasilitas penuh, itu juga curang! Dalam pengurusan ijin, meminta pembayaran di luar tarif resmi, curang! Dalam perdagangan, mengurangi takaran, curang! Secara sengaja mengirim barang yang tidak sesuai dengan pesanan, curang!
Dalam bidang olah raga, melakukan pengaturan skor pertandingan, curang! Memalsukan umur pemain/atet, curang! Mencederai lawan main supaya tidak bisa melanjutkan pertandingan, curang! Dalam dunia konstruksi, untuk mendapatkan proyek sang kontraktor melobi kepala daerah untuk memenangkan tender proyek, curang! Selama pelaksanaan proyek, kontraktor memakai bahan yang tidak sesuai dengan spesifikasi, curang! Tidak mau ikut antrian, curang! Mengumpulkan sumbangan untuk bencana alam tapi dana yang terkumpul tidak disalurkan kepada yang tertimpa musibah, curang!
Bahkan dalam dunia pendidikan pun kita sebagai orang tua secara tidak langsung juga telah mengajarkan kepada anak kita dengan perilaku curang. Hanya karena ingin diterima di sekolah favorit, orang tua mau membayar lebih kepada pihak sekolah (meski sebetulnya gratis). Anak-anak kita pun sudah terbiasa mencontek saat ujian. Bahkan merasa sangat bangga jika berhasil mencontek tanpa ketahuan.
Jadi, perilaku curang memang sudah 'menyatu' dengan bangsa kita, dari dulu sampai sekarang, dari orang tua sampai anak-anak. Lebih parah lagi jika perilaku curang itu sudah terbentuk dalam sebuah institusi atau sebuah ekosistem. Orang akan maklum saja jika melihat rekannya berbuat curang karena dia sendiri (mungkin) juga pernah berbuat curang. Tahu sama tahu-lah. Jika dalam sebuah institusi atau ekosistem yang 'bengkok' terdapat orang yang 'lurus', justru orang 'lurus' tersebut akan dimusuhi. Apabila orang 'lurus' tersebut memegang jabatan atau posisi yang menentukan, maka banyak orang yang akan berusaha menjatuhkannya dengan berbagai cara. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari kita ternyata 'tidak siap' atau 'belum siap' dipimpin oleh orang yang betul-betul 'lurus'.
Mengapa bangsa kita suka berbuat curang?
Berikut beberapa alasan mengapa bangsa kita suka berbuat curang :
- Hukuman yang kurang tegas terhadap kecurangan membuat orang seperti meremehkan hukum dan 'ketagihan' untuk melakukan kecurangan lagi.
- Kecurangan dianggap sebagai dosa atau kejahatan kecil dan cukup diselesaikan hanya dengan 'minta maaf'. Hal ini membuat orang tidak malu melakukan kecurangan, bahkan justru merasa bangga. Apalagi jika berada di lingkungan atau ekosistem yang terbiasa dengan kecurangan.
- Kebanyakan dari kita lebih mementingkan hasil daripada sebuah proses. Tidak mau tahu bagaimana caranya yang penting hasilnya. Banyak orang tua menuntut anaknya jadi juara tapi tidak peduli caranya, meskipun harus nyontek juga tidak masalah. Jika terpaksa harus menyuap wasit juga tidak apa, yang penting timnya bisa juara.
- Tidak punya rasa percaya diri. Orang yang berbuat curang biasanya berpikiran kalau tidak berbuat curang dia tidak akan berhasil atau menang. Sadar, kalau bermain fair pasti akan kalah.
Akhir kata,
"Orang yang jujur pasti akan berprasangka baik dan selalu berpikir bahwa orang lain juga jujur. Sebaliknya, orang yang tidak jujur/curang selalu berprasangka buruk dan berpikir bahwa orang lain pasti juga tidak jujur/curang."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H