Siapa yang tidak ingin punya anak yang patuh, baik patuh kepada perintah orang tua, agama maupun patuh kepada peraturan-peraturan yang ada. Untuk menghasilkan anak yang patuh, para orang tua akan dan selalu menjadi orang paling cerewet di dunia, terutama ibu. Di sekolah pun para guru juga sering menekankan kepada para siswa untuk selalu mematuhi peraturan dan tata tertib sekolah. Peraturan dan tata tertib itu selalu diimbuhi dengan sanksi-sanksi yang bakal diterima jika melanggarnya.
Sayangnya di Indonesia ini ada pameo yang kontradiktif, “peraturan dibuat untuk dilanggar”. Tanpa kita sadari, kita sebagai orang tua sering melakukan itu. Konyolnya lagi kita melanggar peraturan itu sambil mengajak atau melibatkan anak-anak kita. Secara tidak langsung kita sudah mengajari anak-anak kita untuk melanggar peraturan dan itu diperbolehkan.
Anehnya lagi, jika sanksi dari pelanggaran peraturan tersebut menimpa orang lain, kita minta peraturan itu ditegakkan dengan tanpa pandang bulu. Tapi, jika sanksi pelanggaran itu menimpa kita atau orang dekat kita, kita sering minta pengampunan atau keringanan.
Pemandangan yang paling sering saya lihat adalah ketika jam berangkat sekolah dan kerja. Di perempatan-perempatan jalan, sering saya lihat beberapa motor dan mobil menerobos lampu merah. Mereka melakukan hal tersebut setelah melihat tidak ada kendaraan yang akan melintas, baik dari kanan, kiri atau dari arah berlawanan.
Dengan alasan takut terlambat masuk sekolah, para orang tua yang sedang mengantarkan anaknya sekolah dengan penuh kesadaran, mengambil risiko menerobos lampu merah. Anak-anak yang sedang dibonceng atau di dalam mobil telah menjadi saksi pelanggaran lalu lintas yang diperagakan oleh orang tua mereka sendiri. Akhirnya akan muncul pemahaman bahwa melanggar lampu lalu lintas itu sah-sah saja, selama tidak ketahuan polisi. Ketaatan terhadap sebuah aturan hanya akan dikerjakan jika ada yang mengawasi bukan karena kesadaran diri sendiri.
Selanjutnya, jika mereka ditangkap oleh petugas kepolisian, mereka akan lebih memilih jalan ‘damai’ daripada menjalani proses sidang. Sekali lagi, kita sebagai orang tua telah menunjukkan perilaku tidak terpuji lainnya, ‘percobaan menyuap petugas’. Jangan dikira anak-anak yang kita bonceng atau kita antar tidak memperhatikan hal-hal tersebut. Mereka akan menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan orang tua mereka, meski itu dilarang, ternyata boleh dilakukan. Hal itu pula yang akan mereka lakukan jika suatu saat nanti mereka jadi orang tua.
Karena sudah melihat contohnya dari orang tua sendiri, maka jangan heran jika di rumah orang tua melarang suatu perbuatan, anak-anak terlihat penurut tetapi menjadi begitu liar ketika di luar.
“Ingat, jangan nerobos lampu lalu lintas, ya!” teriak sang bapak.
“Ya, pak!” jawab sang anak dengan mantap.
Tetapi, begitu di luar, bukan hanya lampu lalu lintas yang dilanggar. Pengguna jalan lain pun ikut jadi korban. Sang anak tentu tidak mau disalahkan atas perbuatannya. Kalau bapak bisa dan boleh melanggar lampu lalu lintas, kenapa saya tidak bisa dan tidak boleh?
Contoh selanjutnya menjadi ironi karena terjadi di dunia yang seharusnya mengajarkan serta menerapkan azas ketaatan dan kepatuhan, dunia pendidikan.
Anak pertama saya baru saja naik ke jenjang SLTA. Proses seleksi masuk SMA/SMK tahun ini masih sama dengan proses seleksi waktu masuk SMP, tiga tahun yang lalu. Ada jalur prestasi dan jalur reguler. Baik waktu masuk SMP maupun SMA anak saya selalu masuk melalui jalur reguler, dengan sistem online.
Jalur reguler ini hanya mengandalkan Nilai Ujian Nasional (NUN), sebagai dasar seleksi penerimaan siswa baru. Sistem ini mengakibatkan siswa yang NUN-nya rendah akan terus tergusur oleh siswa yang NUN-nya tinggi. Sehingga siswa dengan NUN tinggi akan terkumpul di sekolah favorit, sedangkan yang NUN-nya rendah akan terkumpul di sekolah yang tidak favorit.