Baru saja kaki ini melangkah masuk ke dalam kantor, belum sempat menaruh pantat di kursi, seorang teman langsung nyeletuk,
“Wah … beberapa hari nggak kelihatan, habis mudik ya, Pak ?”
“Yo’i.”
“Mana oleh-olehnya ?”
“Maaf, gak ada.”
“Yahh … kok nggak ada, sih ?” tanyanya dengan nada merajuk.
“Skali lagi maaf, saya nggak pernah bawa oleh-oleh, karena saya juga nggak pernah minta oleh-oleh jika ada yang mudik.”
Kejadian kedua. Sekitar dua tahun lalu ada teman yang nulis status di FB tentang rencana kepergiannya ke Jepang. Yang komen di status tersebut hampir semuanya minta dibawakan atau pesan oleh-oleh. Mungkin cuma saya yang tidak pesan oleh-oleh, saya hanya komen,
“Hati-hati di jalan, Wi. Semoga selamat kembali ke rumah.”
Ya, daripada pesan oleh-oleh, lebih baik saya do’akan teman selama di perjalanan dan bisa kembali ke rumah dengan selamat dan sehat.
Ajaran Bapak
Dulu waktu kecil, Bapak saya kalau pulang dari bepergian kadang suka membawa oleh-oleh buat kami sekeluarga, terutama untuk anak-anaknya yang masih kecil (saya dan adik). Apa saja, asalkan ada untuk saya dan adik. Biasanya berupa mainan yang murah meriah, seperti miniatur prajurit terjun payung yang parasutnya terbuat dari plastik atau mainan murah meriah lainnya.
Akan tetapi kalau dihitung frekuensinya, Bapak lebih sering pulang tanpa oleh-oleh dibandingkan dengan membawa oleh-oleh. Dan seperti anak kecil lainnya, saya dan adik pun merengek menanyakan oleh-oleh. Jawaban Bapak bisa ditebak,
“Nanti, kalo ada uang Bapak belikan.”
Kebiasaan tersebut berlanjut sampai saya menginjak remaja. Ketika itu Bapak mulai menjelaskan bahwa tidak setiap kali bepergian harus membawa oleh-oleh. Bapak juga mulai melarang kami (anak-anaknya) untuk menagih oleh-oleh kepada siapa saja yang bepergian,
“Nggak baik, nggak etis dan nggak sopan” kata Bapak.
Kalau diberi boleh menerima tetapi tidak boleh meminta. Bapak bilang tidak setiap orang yang bepergian punya uang cukup untuk beli oleh-oleh. Lebih baik mendo’akan yang bepergian supaya selamat selama dalam perjalanan dan sampai di rumah kembali. Bapak juga mengingatkan bahwa hubungan kekerabatan dan pertemanan tidak boleh diukur dari segi materi. Jangan sampai hanya gara-gara tidak bawa oleh-oleh terus tidak dianggap saudara atau teman. Berkali-kali Bapak mengingatkan nasihatnya tersebut, sampai akhirnya terbawa sampai saya tinggal di perantauan.
Sejak jaman kuliah sampai bekerja sekarang ini, saya jarang sekali bawa oleh-oleh. Saya merasa tidak ada kewajiban untuk bawa oleh-oleh karena saya juga tidak pernah menuntut oleh-oleh kepada orang lain atau teman yang bepergian atau mudik ke kampungnya. Jika ada teman yang pamit bepergian atau mudik ke kampung, saya selalu sampaikan untuk selalu berhati-hati di perjalanan dan berdo’a semoga selamat sampai tempat tujuan.
Rupanya nasihat Bapak saya benar-benar jadi kenyataan. Suatu saat waktu masih nge-kost di Surabaya, salah satu teman kost saya pamit mau mudik ke kampungnya. Entah kenapa, saya minta dibawakan oleh-oleh. Teman kost saya menyanggupi. Ketika teman itu tiba kembali di kost-kostan, saya lihat ada luka di tangan kanannya. Ketika saya tanya kenapa tangannya, dia bilang jatuh karena diserempet motor waktu mau belikan oleh-oleh yang saya pesan. Meski dia bilang ‘nggak apa-apa’, saya merasa sangat bersalah padanya. Saya langsung teringat nasihat Bapak. Buat apa bawa oleh-oleh jika untuk itu nyawa hampir melayang. Percuma. Lebih baik do’akan yang sedang dalam perjalanan supaya selamat sampai ke tempat tujuan. Semenjak itu saya tidak pernah lagi memesan oleh-oleh pada siapa saja yang bepergian. Karena saya tidak pernah memesan oleh-oleh, maka saya juga merasa tidak ada kewajiban membawa oleh-oleh tiap kali bepergian atau mudik ke kampung. Buat saya oleh-oleh itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Jika ada yang bilang saya pelit, asosial, silakan. Nggak masalah buat saya.
Pendapat Umar Kayam
Lain Bapak saya, lain pula budayawan (alm.) Umar Kayam dalam menyikapi benda yang bernama oleh-oleh ini. Dalam tulisannya yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta yang terbit pada tanggal 20 Oktober 1987, Umar Kayam menulis bahwa makna oleh-oleh sangat tergantung dari siapa yang memberi dan untuk siapa oleh-oleh tersebut.
Dalam tulisannya Umar Kayam memberi ilustrasi tentang pembantunya yang bernama Mr. Rigen membeli jajan pasar klêpondan thiwul. Jika jajan pasar itu diberikan kepada anaknya, tentu anaknya akan girang bukan kepalang karena mendapat oleh-oleh dari bapaknya. Tetapi, jika jajan pasar itu diberikan kepada saya (maksudnya, kepada Pak Ageng, tokoh alter ego Umar Kayam dalam kolomnya), tentu itu bukan oleh-oleh namanya. Dan saya juga tidak akan girang-girang amat ketika menerimanya. Saya anggap jajan pemberian itu sebagai suap atau sogokan supaya saya tidak sering marah-marah padanya.