Lihat ke Halaman Asli

Moderasi Politik Perspektif Al-Farabi dan Kiai Sahal Mahfudh

Diperbarui: 22 April 2024   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Al-Farabi dan KH. Sahal Mahfudh. Gambar diolah dari berbagai sumber

Dalam demokrasi yang terjadi di Indonesia, masyarakat dihimbau untuk menyalurkan hak suaranya setiap lima tahun atau periode. Berbagai pilihan seperti partai politik, kepala daerah bahkan calon presiden dan wakil presiden menunjukkan kerja keras masing-masing guna meraih simpati rakyat. Namun, Indonesia selalu mengalami momentum menyakitkan saat penyelenggaraan pesta demokrasi.

Peristiwa Al-Maidah 51 di pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017, menjadi peristiwa kelabu yang mewarnai demokrasi kita. Penyebabnya adalah ketidaktahuan konteks tafsir kemudian digunakan senjata oleh lawan untuk menjatuhkan calon lain. Peristiwa ini menimbulkan perpecahan antar umat beragama dan etnis dari kontes politik.

Pada tahun 2019, Kementerian Agama RI menerbitkan buku bejudul Moderasi Beragama, yang berisi kerangka konsep, pengalaman empirik dan strategi implementasi moderasi beragama. Dalam sambutannya, Lukman Hakim Saifuddin menyatakan jika moderasi beragama penting dan menjadi strategi kebudayaan. Dalam bernegara juga disarankan agar pemahaman keagamaan bisa berjalan harmonis dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Tulisan ini akan membedah bagaimana kita sebagai masyarakat yang beragama, juga tidak lepas dari politik. Terdapat konsep al-Madinah al-Fadhilah dari al-Farabi yang mencita-citakan bentuk negara yang ideal. Al-Farabi menyatakan setiap warga negara haruslah memiliki ide dan memperjuangkan titik terakhir yaitu tujuan bersama sebagai warga negara yang moderat. Kemudian pada bagian ini juga, akan dikembangkan gagasan politik moderat perspektif Kiai Sahal Mahfudh yang mendambakan akan kemaslahatan bersama. Tujuannya agar mampu mengaktualisasikan moderasi beragama sebagai konsep menghadapi tahun politik atau menjadi pelaku politik. Masyarakat tidak menjadi eksklusif dalam mengambil ijtihad politiknya.

Pengertian Politik dalam Islam

Politik atau al-Siyasah memiliki berbagai pengertian. Pada umumnya politik bermakna sebagai jalan memilih peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh seluruh masyarakat agar menciptakan kehidupan yang harmonis. Begitu pula dengan definisi oleh Peter Merkl yang menyebut bahwa "politics, at its best is a noble quest for a good order and justice" (politik merupakan upaya mencapai suatu tatanan sosial). Pengertian politik di sini sebagai segi positif.

Lain halnya dari segi negatif. Politik dimaknai oleh beberapa ahli sebagai usaha untuk mencapai kekuasaan, kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri. Pengertian negatif politik ini yang sering kita dengar. Akibatnya, sebagian masyarakat lebih apatis terhadap momentum demokrasi yang terjadi.

Dalam teori-teori politik sekuler, politik lebih sering dipisahkan dari agama. Politik juga tidak dapat diabaikan dari agama Islam. Keduanya memiliki titik yang cukup erat, jika keduanya dipahami sebagai sarana tatanan kehidupan manusia secara menyeluruh. Rasulullah SAW. dan Khulafa al-Rasyidin juga mengalami perpolitikan pada zamannya. Mereka selain menjadi pimpinan agama, sekaligus memimpin negara. Dua fungsi ganda ini sering disebut dengan konsep Imamah, dengan tujuan mewujudkan kemaslahatan umum, pada dasarnya interaksi politik dengan serangkaian active relationship (pola aktif) antara masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan. 

Secara fikih, dari kalangan ulama mazhab Hanbali mengartikan al-Siyasah (politik) sebagai sikap, perilaku dan public policy yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus mafsadah (kerusakan), walaupun belum pernah ditentukan oleh Raslullh SAW. Dari ulama mazhab Hanafiyah, politik dimaknai sebagai kemaslahatan makhluk dengan instrumen dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut ulama Syafi'iyyah, politik harus sesuai dengan syariat Islam. Jadi, dapat dikatakan politik memang harus diupayakan, sikap dan kebijakan mencapai maqashid al-syari'ah (tujuan syariat). Maqashid al-syariah itu antara lain: pertama, hifdz al-Din yaitu memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam. Kedua, hifdz al-'Aql, atau menjaga akal dan mengembangkan pemikiran untuk kepentingan umat. Ketiga, hifdz al-Nafs yaitu memelihara jiwa raga dari segala bahaya dan memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan suplementer. Keempat, hifdz al-Mal atau menjaga harta dengan peningkatan komoditas dan tanpa melampaui batas maksimal serta mengurangi batas minimal. Dan yang kelima, hifdz al-Nasl atau menjaga keturunan dengan memenuhi hajat fisik maupun ruhani.

Pada dasarnya, Islam memandang politik sebagai jalan menuju kemaslahatan. Kesimpulannya, dalam Islam, memahami politik bukan berarti hanya urusan dengan struktur formalistik belaka, namun juga menyangkut kultur politik yang secara luas. Politik tidak hanya perjuangan meraih posisi eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Lebih dari itu, politik sebagai rangkaian aktivitas yang berhubungan pada kemaslahatan umat dari aspek jasmani dan ruhani, dari aspek hubungan antar masyarakat umum dan hubungan masyarakat sipil dengan pemegang kekuasaan. Struktur politik seperti ini didasarkan pada kaidah fikih yang berbunyi "tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah" (kebijakan pemimpin harus mengarah pada manfaat masyarakat).

Tinjauan Kritis Term "Moderasi Beragama"

Sejauh pengamatan penulis, moderasi beragama mulai dikampanyekan oleh pemerintah dari tahun 2019. Kementerian Agama beberapa kali menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk menggodok konsep moderasi beragama. Yang kemudian masuk dalam prioritas nasional Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di bidang Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline